Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D., hadir sebagai keynote speaker pada webinar bertema “Perkembangan Inovasi Keuangan Digital & Waspada Investasi Ilegal di Indonesia” yang diadakan secara virtual melalui zoom meeting dan Youtube OJK TV, pada Kamis (07/10). Webinar tersebut diselenggarakan dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun ke-10 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mengajar. Narasumber lain di acara tersebut adalah Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Ir. Nurhaida, MBA.
Prof. Ari Kuncoro memaparkan mengenai inovasi keuangan digital. Menurutnya, sejarah evolusi keuangan digital dapat dilacak pada periode 1860-an atau fintech 1.0, di mana globalisasi keuangan pertama muncul. Sejalan dengan perkembangan dunia, inovasi keuangan digital di Indonesia mulai berkembang pesat setelah krisis keuangan global tahun 2008. Perkembangan tersebut bisa dikelompokkan ke dalam 16 klaster yang telah diidentifikasi oleh OJK, diantaranya mulai dari bersifat aggregator pasar, perencanaan keuangan, hingga asistensi pajak dan akuntansi, serta investasi properti sejenis real estate investment trust (reit).
“Keragaman jenis fintech yang ada di Indonesia menunjukkan betapa menarik dan dinamisnya pasar dan inovasi jasa keuangan Indonesia. Adapun manfaat yang dirasakan dari pesatnya perkembangan inovasi keuangan digital, yaitu tersedianya ragam layanan keuangan yang bisa menyesuaikan kebutuhan masyarakat. Berbagai kalangan yang sebelumnya tidak bankable, kini bisa ikut mengakses layanan keuangan dengan hadirnya berbagai alternatif yang disediakan oleh fintech. Di tahun 2020, saat terjadinya puncak pandemi Covid-19, kehadiran inovasi keuangan digital terbukti menjadi solusi berbagai tantangan menyangkut kebutuhan masyarakat akan layanan jasa keuangan,” ujar Prof. Ari.
“Dari aspek regulasi, pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa fintech yang menyatu dengan sisi perbankan membawa dua tantangan baru, yaitu risiko siber dan kerentanan data nasabah yang membuat masyarakat resah dan berpotensi dirugikan. Yang kedua adalah risiko stabilitas terhadap sistem keuangan mengingat beberapa contoh penerapan fintech, seperti percepatan dan persetujuan pinjaman berpotensi meng-underestimate tingkat risiko calon peminjam,” ujarnya.
Bagi perusahaan fintech yang tidak berafiliasi dengan bank, tantangan yang dihadapinya juga berbeda. Prof. Ari memberikan contoh, yang paling marak di Indonesia adalah penyalahgunaan data nasabah oleh oknum pinjaman online. Selain itu, penerapan algoritma untuk otomasi peregangan berpotensi menimbulkan perilaku kolektif pasar yang berbahaya seperti penjualan secara masif produk-produk tertentu secara bersamaan yang berpotensi crash di pasar. Kemunculan mata uang digital berbasis lock chain juga menyebabkan kegamangan baru mengingat alat transaksi yang sah, seyogyanya adalah yang dijamin oleh otoritas yang sah.
Di Indonesia, kata Prof. Ari, tingkat literasi keuangan masyarakat masih terbilang rendah dan belum merata, hal tersebut menyebabkan berbagai elemen masih rentan menjadi korban penipuan atau investasi ilegal. Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) ketiga yang dilakukan OJK pada tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan mencapai 38,03%. Angka ini naik dari 29,7% pada tahun 2016.
“Hal ini menunjukkan perbaikan yang signifikan meskipun masih belum dapat dikatakan ideal. Peran OJK menjadi sangat krusial dalam aspek ini. Masyarakat tentunya tidak perlu menghabiskan banyak waktu guna memastikan legalitas sebuah produk investasi. Proses harus dibuat lebih mudah, sehingga masyarakat merasa berada di pasar yang adil. OJK perlu terus memberikan solusi sebagaimana yang saat ini sudah dilakukan seperti penyertaan logo dan klaim OJK pada produk dan institusi keuangan yang telah memiliki izin dan berada dalam pengawasan OJK,” katanya.
Prof. Ari mengatakan dari sisi regulasi, OJK memiliki tantangan besar untuk tetap mendorong inovasi keuangan digital dengan tetap mempertimbangkan aspek keamanan, keadilan, dan keterbukaan akses bagi seluruh lapisan masyarakat. “OJK harus terus menghadirkan inovasi-inovasi kebijakan untuk mengikuti perkembangan teknologi yang terkini dan terbaik di tingkat lokal dan global,” ujarnya.
Selanjutnya, Nurhaida menyampaikan bahwa di sektor keuangan digitalisasi hampir terjadi di semua bidang. Transformasi digital berkembang sangat pesat mulai dari bidang traveling dengan memesan tiket secara online, bidang entertainment dengan menonton film secara online dan bisa mengunduhnya, bidang shopping dengan berbelanja online di Bukalapak, Lazada, Shopee, dll, dan bidang transportasi dengan memesan ojek online seperti Gojek, Grab, dan sebagainya.
Pada tahun 2030, Indonesia akan menjadi salah satu dari 10 perekonomiaan terbesar di dunia. Terdapat 45 juta penduduk Indonesia yang dikategorikan sebagai kelas menengah dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan mencapai 135 juta. Kemudian, terdapat 55 juta penduduk Indonesia yang dikategorikan sebagai skill workers dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan mencapai 113 juta.
Dalam hal ini, kita dapat melihat potensi fintech dalam percepatan inklusi keuangan. Dengan adanya inklusi keuangan akan memberikan manfaat kepada masyarakat Indonesia untuk berkembang secara ekonomi. Melalui fintech, dapat membuka akses pendanaan terhadap unbankable dan UMKM, sistem pembayaran terintegrasi pada e-commerce, layanan transportasi, logistik, tourism, dan hiburan, ekosistem yang tumbuh cepat dan membantu memperluas inklusi keuangan ke berbagai masyarakat, transaksi uang elektronik, nilai transaksi e-commerce pada TW I dan II 2021 meningkat, penyaluran kredit P2P lending lebih dari Rp 220 Triliun per Juli 2021.
Inovasi keuangan digital terdiri dari 7 bank syariah dan 76 bank konvensional masuk ke dalam 16 klaster yaitu aggregator, financial planner, project financing, innovative credit scoring, funding agent, financing agent, E-KYC, RegTech, InsurTech, insurance hub, online distress solution, insurance broker marketplace, tax & accounting, transaction authentication, property investment management, dan blockchain based yang sudah tercatat sebanyak 83 di OJK.
Regulator Fintech di Indonesia yaitu OJK (P2P Lending, inovasi keuangan digital, dan securities crowdfunding), Bank Indonesia (e-payment, e-wallet, dan e-money), Kementerian Perdagangan RI (e-commerce), BAPPEBTI (cryptoasset dan platform trading emas digital), Kementerian Keuangan (aplikasi perpajakan), Kementerian Sosial RI (social crowdfunding), dan Kementerian Koperasi dan Digital (sedang menunggu peraturan dari otoritas terkait).
OJK berkomitmen untuk menyediakan ekosistem fintech yang memadai, mulai dari penyediaan regulatory sandbox, model pengawasan market conduct, kolaborasi asosiasi fintech, perlidungan konsumen yang merupakan konsen utama OJK, penyediaan ‘fintech center-OJK’, regulatory framework, dan light touch and safe harbor. (UI)
Baca Juga : CTSS IPB University Bahas Sains dan Budaya untuk Masa Depan Peradaban Indonesia
Discussion about this post