Dalam tujuh tahun terakhir ini kita sering mendengar istilah bonus demografi, istilah ‘bonus demografi’ ini terasa asing. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan kata ‘bonus’ sebagai ‘upah tambahan di luar gaji’ atau ‘halaman/artikel tambahan pada majalah/koran’. Tentu aneh, apabila kata ‘bonus’ (pengertian ini) kita sandingkan dengan kata ‘demografi‘ dan mengartikan ‘bonus demografi’ sebagai ‘upah tambahan demografi’, atau ‘halaman tambahan demografi’.
Agar tidak banyak menimbulkan persepsi yang beragam, Ayo, kita bahas secara santai. Bayangkan Anda menemukan sepasang kakek/nenek yang sekarang berusia masing-masing 69 dan 66 tahun, mempunyai anak 11 orang (kebetulan semuanya laki-laki, walaupun mereka tidak punya niat membentuk sebuah kesebelasan sepakbola) yang sekarang berusia antara 28 hingga 50 tahun. Hmm, pasti dalam benak Anda membayangkan mereka menikah muda, kelahiran anak-anak si kakek-nenek yang terjadi setiap dua tahun, dan si nenek berhenti melahirkan setelah berusia 38
tahun. Kalau Anda berpikir seperti itu, berarti Anda cerdas !!!.
Sekarang, mari kita lihat perjalanan kehidupan si kakek-nenek sejak menikah, punya anak, menghidupi anak-anak mereka dengan makanan dan pakaian yang cukup, menyekolahkan dan mengobati si anak ketika sakit. Saat itu mereka masih energik dan produktif. Si kakek bekerja sebagai petani, si nenek bekerja sebagai ibu rumahtangga. Ketika lahir anak pertama, beban mereka tidak begitu besar. Lahir anak kedua, mereka masih mampu menghidupinya. Namun, beban semakin berat ketika lahir anak yang ketiga, keempat, …, hingga yang kesebelas …!
Mereka harus bekerja menghasilkan uang tambahan. Si kakek bekerja tambahan sebagai kuli bangunan, si nenek membantu untuk mendapatkan tambahan penghasilan dengan bekerja sebagai pembantu rumahtangga di beberapa keluarga kaya. Kebutuhan makan
sehari-hari (untuk 13 orang) tercukupi, semua anak-anaknya sekolah (kebetulan rajin dan pandai-pandai semua).
Sekarang, ketika si kakek-nenek sudah masuk usia lanjut (lansia) dan tidak mampu bekerja lagi, anak-anaknya sudah berusia 28 hingga 50 tahun. Kakek-nenek bersyukur, bahwa sebagian anak-anaknya sudah bekerja, sebagian lainnya membuka usaha sendiri, dan bahkan semuanya sudah punya rumah sendiri-sendiri. Si kakek-nenek bangga. Anak-anaknya saling berebut merayu si kakek-nenek agar tinggal bersama mereka.
Dahulu, dua orang (usia produktif) menanggung sebelas orang (usia tidak produktif), sekarang sebelas orang (usia produktif) hanya menanggung dua orang (usia tidak produktif). Dengan kata lain, ‘beban’ yang sekarang yang ditanggung oleh anak-anak si kakek-nenek sekarang
lebih ringan dibandingkan ‘beban’ yang ditanggung dulu oleh si kakek-nenek.
Nah, penulis sudah mencoba mengantarkan pemahaman bonus demografi dalam cerita sederhana. Cerita lengkapnya dimulai ketika terjadinya peristiwa babyboom, kelahiran bayi yang terjadi besar-besaran (karena berhentinya perang) dan kemudian muncul program KB (tahun 1990) yang berhasil menurunkan tingkat kelahiran secara tajam. Pada situasi terjadinya babyboom, ‘babies’ ini merupakan ‘beban’ yang begitu besarnya, tapi sekarang mereka mulai bergerak masuk ke dalam kelompok usia produktif yang (seharusnya) sudah tidak menjadi beban lagi.
Inilah makna dari apa yang disebut ‘bonus demografi’ (atau sering disebut dalam bahasa kerennya ‘window of opportunity’), yakni sebuah kondisi (sebagai dampak babyboom dan penurunan fertilitas) dimana penduduk usia produktif menjadi sangat besar sementara penduduk usia tidak produktif makin sedikit dan lansia belum begitu banyak. Dan, kondisi ini hanya terjadi sekali dalam sejarah penduduk sebuah negara.
Pertanyaan adalah, apakah bonus demografi ini sebuah ‘berkah’ atau justru sebuah ‘bencana’? Jawabannya sangat sederhana, yaitu seberapa besar (Baca: pemerintah) menangani bonus yang akan hadir ini secara tepat! Menjadi berkah, sekiranya ‘babies’ yang mulai bergerak masuk ke dalam kelompok usia produktif ini terjamin kualitasnya (berpendidikan dan sehat), tersedianya lapangan pekerjaan untuk dapat bekerja dengan produktivitas yang tinggi, serta mampu bersaing di dunia kerja dan pasar internasional. Kalau tidak?
Pastilah akan menjadi bencana. Manakala anak-anak masih harus bekerja membantu orangtuanya di sawah atau melaut; manakala minat bersekolah terkendala oleh biaya pendidikan yang tinggi, akses ke sekolah yang sulit (jauh atau harus melewati jembatan gantung yang talinya siap putus), kondisi sekolah yang tidak nyaman (reyot dengan atap yang siap runtuh), dan mutu ajar yang rendah; manakala kesehatan tidak mendapat sentuhan secara baik; serta manakala lapangan pekerjaan tidak tersedia.
Tahun 2020-2030 di Indonesia, diperkirakan akan ada sebanyak 70 persen penduduk usia produktif (sekitar 180 jutaan) yang notabene nya penduduk usia kerja. Siapkah pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan untuk mereka? Dan kalau siap, apakah mereka mampu bersaing di dunia kerja dan pasar internasional.
Bonus demografi ibarat pedang bermata dua, berkah jika berhasil menanganinya, tapi akan jadi bencana seandainya tidak dikelola secara baik. Window of opportunity itu sudah siap membuka, jangan biarkan dia menutup kembali hanya dikarenakan kita tidak memanfaatkannya secara baik.
Ibram Syahboedin, Pakar Statistik (Kepala BPS Jawa Tengah 2013-2015)
Baca Juga : Sistem Statistik Nasional Untuk Data Berkualitas
Discussion about this post