Muhammadiyah memiliki konsistensi yang sangat tinggi dalam penerimaan dan pengakuan kepada Pancasila. Komitmen Muhammadiyah terhadap Pancasila secara tegas disusun dan dibahas dalam Muktamar Muhammadiyah 47 di Makasar 2015 yang lalu. Keputusan Muktamar yang tertuang dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 tersebut menyebutkan secara jelas bahwa Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Ketua PP Muhammadiyah Syafiq Mughni mengatakan bahwa konsep Darul Ahdi Wa Syahadah ini merupakan formula yang sangat cocok dalam menghubungkan komitmen keislaman dan keindonesiaan.
“Muhammadiyah telah menemukan formula yang sangat pas di dalam menghubungkan agama dan kebangsaan melalui konsep Darul Ahdi Wa Syahadah. Ini adalah rumusan yang paling bagus yang menyelesaikan semua perdebatan dan persengketaan sekitar hubungan antara agama dan negara atau masalah keagamaan dengan nasionalisme,” Syafiq dalam acara Pengajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Jumat (15/10).
Pakar Sejarah Peradaban Islam ini menuturkan bahwa pada tahun 1930an telah terjadi perdebatan yang cukup sengit tentang hubungan agama dan kebangsaan yang dilakukan tokoh-tokoh muda Nusantara seperti Mohammad Natsir, Soekarno, dan lain-lain. Kawulan muda pada saat itu terbiasa dengan diskusi bahkan berpolemik di media massa untuk mencari rumusan terbaik bagi masa depan Indonesia yang dicita-citakan. Syafiq berharap kaum muda milenial saat ini mengikuti jejak langkah para pendiri bangsa tersebut.
“Tentu itu suatu proses yang mencerdaskan yang membuat kita lebih dewasa. Karenanya sejarah telah mencatat bahwa pikiran-pikiran kaum muda sangat cerdas, sangat mencerahkan bagi bangsa. Bagaimana saat ini? Kami harap kaum muda memberikan pengetahuan dan pikiran2 yang mencerahkan kepada kita semua,” kata Pria kelahiran Lamongan, 15 Juni 1954 ini.
Syafiq yang merupakan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya ini turut mennjelaskan bahwa masalah nasionalisme pernah menjadi tema sentral perdebatan di kalangan umat Islam. Problem itu sekitar masalah konsep bangsa yang di dalam Al Quran disebut sebagai syu’uban wa qabaila (QS. Al Hujurat: 13). Makna asal dari penggalan ayat tersebut adalah bangsa dalam arti ras. Tetapi kemudian mengalami transformasi di era modern, yang kini sebuah bangsa tidak hanya diikat oleh darah dan keturunan tapi juga bisa diikat oleh kepentingan bersama dalam suatu teritori.
Baca Juga : CTSS IPB University Bahas Sains dan Budaya untuk Masa Depan Peradaban Indonesia
Discussion about this post