Kelompok generasi milenial memandang batas-batas negara-bangsa, baik secara fisik maupun gagasan, merupakan sesuatu yang dinegosiasikan terus-menerus. Pandangan ini berkebalikan dengan yang dimiliki oleh generasi-generasi sebelum mereka. Menurut Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah, Prof. Ahmad Najib Burhani, milenial tidak lagi terikat oleh suatu bangsa, mereka juga tidak lagi terikat dengan masa lalu perjuangan suatu bangsa.
Generasi milenial merupakan generasi masa kini yang lahir pada 1980-an hingga 2000-an. Generasi ini sangat lekat dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan sering kali diasumsikan sebagai disruptor melalui keterhubungan dengan internet.
Keadaan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia, sebab putra-putri bangsa, generasi emas yang akan memimpin Indonesia di tahun 2045 akan sama sekali berbeda pandangannya terhadap konsep negara-bangsa dengan putra-putri bangsa tahun 1945, yang mengalami konstruksi kemerdekaan.
“Dan ini kontras kalau kita lihat dengan konsep dibawa pemimpin-pemimpin tertentu yang menyebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati, jadi ini adalah konsep tanah air dalam bentuk yang nyata,” ungkap Najib pada (15/10) di Pengajian Umum PP Muhammadiyah secara daring.
Mengutip Ibnu Nadzir, penulis buku Nasionalisme Ala Milenial, Sebuah Disrupsi ?, Prof Najib menjelaskan, bahwa nasionalisme tidak dipahami sebagai ikatan eksklusif terhadap satu entitas Negara-bangsa. Namun sebaliknya, bentuk nasionalisme kelompok milenial ini membuka kemungkinan untuk bertautan dengan identitas lain di luar negara-bangsanya.
Terkait dengan itu, peneliti senior sekaligus Guru Besar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini menyebut penjelasan tersebut memiliki kemiripan dengan makna Muhammadiyah Berkemajuan. Di mana dalam Tanfidz 2010 disebut sebagai kesadaran bagian dari warga dunia, serta keinginan sharing dan berperan dalam membentuk peradaban dunia global.
“Tentu saja memiliki kaitan dengan kebangsaan dalam pemahaman lamanya. Tetapi mulai beranjak ke pemahaman yang lebih global terhadap kemanusiaan itu sendiri,” ungkapnya.
Prof. Najib melanjutkan, perubahan pemahaman tentang konsep Negara-bangsa di kelompok milenial menjadikan tantangan bagi nasionalisme. Sebab kelompok milenial tidak terhubung ke masa lalu, tetapi lebih terhubung ke masyarakat dunia melalui gawai.
“Ketika kita bicara nasionalisme antara yang dahulu tahun 1945 yang pernah mengalami konstruksi kemerdekaan, dengan nanti di tahun 2045, 100 tahun kemudian akan berbeda maknanya. Dan tantangannya, tantangan yang berbeda,” kata Najib.
Baca Juga : Peran Obat Herbal dan Suplemen Kesehatan dalam Menangani Covid-19
Discussion about this post