Pandemi yang telah berlangsung mulai awal 2020 telah mengubah hampir keseluruhan perilaku masyarakat dalam berbagai aspek mulai budaya, sosial, psikologi, kesehatan, ekonomi, pendidikan hingga perilaku beragama. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) LPPM IAIN Kudus mengadakan International Conference on Interdisciplinary Gender Studies (ICIGS) ke-4 Tahun 2021 membahas terkait topik Gender, Covid-19 and Ecology. Dinarasumberi oleh Prof. Frans J.S. Wijsen (Radboud University), Farha Cicik, MA (Founder Tanoker Ledokombo), Dr. Phill. Dewi Candraningrum (Chief Editor Salasika Journal). Kegiatan ini dilaksanakan di hotel @HOM Kudus, pada Kamis (21/10/2021).
Dr. Hj. Nur Mahmudah Kepala PSGA IAIN Kudus menerangkan, kegiatan ICIGS ini diselenggarakan untuk mengangkat isu-isu yang berkembang di masyarakat terkait relasi gender, pandemic covid-19, dan ecology. Sehingga pada kegaiatan ini melibatkan para peneliti, pengelola Pusat Studi Gender yang ada di perguruan tinggi se-eks karesidenan Pati, aktivis gender, dinas, sekolah, pesantren dan organisasi kepemudaan di Kabupaten Kudus.
Sebelum sesi utama dimulai, lanjutnya, kegiatan ICIGS ini mengumpulkan puluhan paper (hasil penelitian) yang melalui sub topic Religious Behavior, Covid-19 and Environment, Humanity and Pandemic, Family Resilience, Social Cohesion and Pandemic, Food Security and Ecological Preservation, Pandemic and Environmental Conservation, Gender and Media Representation during a Pandemic, Climate Change, Gender and Pandemic, Gender Relations and Public Policy in the Era of the Pandemic.“Dari beberapa topic yang ada, kami memperoleh 20 papers yang telah didiskusikan pada sesi paralel,” jelas Nur Mahmudah.
Dalam diskusi International Conference ini, Prof. Frans J.S. Wijsen (Radboud University) mengkaji terkait eco-feminisme. Wijsen menjelaskan, penelitian untuk eco-feminisme dari sudut pandang studi Islam masih jarang di Indonesia. “ Yang kami lakukan bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut dengan melaksanakan penelitian studi kasus tentang Kartini Kendeng di Jawa Tengah,” jelasnya.
Ada Empat poin yang diulas terkait ruh “semangat” Kartini Kendeng, kemunculan Kartini Kendeng, Ibu Bumi: doa dan puisi, dan politik agama.Upaya Kartini Kendeng yang mempertautkan pembacaan dua kalimat syahadat dalam doa dan puisinya saat melakukan protes melindungi mata air di sekitaran pegunungan Kendeng menjadi salah satu penanda hubungan ekofeminisme, tradisi lokal dan nilai-nilai Islam. Harapan beliau, banyak kajian-kajian terkait ecofeminisme yang harus muncul dan dikaji.
Masih dalam pembahasan yang sama (red: eco-feminisme), Dr. Phill.Dewi Candraningrum, mengungkapkan hasil penelitian-penelitian yang dilakukannya bersama tim, hingga menghasilkan buku Ekofeminisme (Filsafat, Idiologi Gerakan, dan Narasi Perempuan). Perlu perubahan cara pandang terhadap alam yang awalnya bersifat antroposentris sehingga manusia menjadi subyek tunggal tanpa memperdulikan alam sehingga terjadi eksploitasi. Ketika terjadi kerusakan alam, manusia harusnya menunjuk pada diriya sendiri, kesalahan apa yang telah diperbuat akibat keserakahan manusia. Pandangan lain yang perlu diubah memandang alam sebagai benda mati harus diransformasikan sebagai mahluk hidup sesama ciptaan Allah. Batu, sungai, tanah adalah sama2 ciptaan Allah. Jika ada sungai yang mati, maka apakah kesadaran lekat kita tentang kehidupan sungai sudah terbentuk? Apakah kita akan menangisinya sebagaimana saat kita kehilangan orang tua? Gelitik Mbak Dewi yang menyentak kesadaran. Dalam perjuangan merawat alam, perempuan banyak mengambil bagian dan tidak hanya terjadi di desa- pegunungan tetapi juga di perkotaan. Problem lingkungan menggerakkan perempuan untuk mengambil strategi yang soft seperti menanam adalah melawan, menyusun strategi dari dapur ataupun Melawan dengan menenun di Gunung.
Penggerak perempuan yang harmoni dengan alam dalam memajukan peradapan dirasa penting dan perlu, gerakan inilah yang digaungkan Farha Cicik untuk mengembangkan desa tercintanya, Ledokombo. Terbilang desa terpencil yang jarang diketahui oleh masyarakat luas dan sumber daya manusia yang kurang, menggugah untuk terus berikhtiar mengembangkan potensi.“Demografi penduduk Ledokombo pada 2009 masih bersetigma negatif dari masyarakat luar. Masih termasuk Suku Madura yang dikenal dengan suku yang terbelakang, susah diajak negosiasi,” tutur Farha Cicik.
Strategi yang dilakukan untuk mengangkat eksistensi anak-anak disana adalah untuk tidak terjebak dari kondisi yang ada dan menjauhi permasalahan yang berkembang saat itu. Salah satunya dengan menggali potensi yang ada di desa Ledokombo . “Aspirasi anak-anak adalah kegembiraan dengan bermain, sehingga mereka memilih enggrang untuk bermain. kata kunci disini adalah bambu (potensi),” terangnya. Terwadahilah mereka dengan kelompok yang diberi nama Tanoker (kepompong) sebagai wadah reformasi bagi perkembangan anak-anak. “Lahirlah anak-anak yang berorganisasi, mereka menjadi bergerak dan menggerakan,” Lanjutnya, mereka berharap bisa tumbuh dan lahir kembali menjadi bermanfaat dan dipandang oleh orang dewasa sebagai subyek bukan sebagai obyek. Kebangkitan anak-anak pada gilirannya membawa semangat baru bagi para ibu sehingga lahir sekolah ibu, sekolah bapak dan sekolah eyang sebagai sebuah kolaborasi parenting yang adil gender. Dengan egrang, anak-anak bisa berkembang dan menjadikan desa Ledokombo terangkat sampai mancanegara melalui tiga pasang enggerang. Menjadikan desa wisata, tarian enggerang sampai pada batik enggrang. Dari enggrang kami belajar conservasi, mengambil bambu, dan harus ikut merawat alam desa. Melakukan festival lumpur, menanam dan menciptakan berbagai kuliner sehat seperti berbagai olahan makanan dan minuman dari bunga Telang, Tanoker Craft karya perempuan pengrajin ramah lingkungan. Pada masa pandemi, Upaya merawat alam dilakukan dengan berbagai kegaitan di mana Tanoker mengadakan Anak Nandur , Literasi digital ketahanan pangan dan keamanan pangan dari tiap rumah dengan menggerakkan setiap keluarga lomba kebun keluarga bahagia dan pengasuhan damai serta Festival Merpati yaitu Merajut Persaudaraan Merawat Ibu Pertiwi. (IAIN Kudus)
Baca Juga : ITB Ikut Berpartisipasi dalam Turki Teknofest 2021 di Istanbul
Discussion about this post