Ada “running text” di salah satu chanel TV bertuliskan “KPK: 86% korupsi dilakukan oleh alumni Perguruan Tinggi”. Pernyataan ini membuat saya berpikir dan bertanya “apa sebenarnya esensi pendidikan itu?”.
Bila pendidikan benar-benar dilakukan untuk membentuk manusia yang berbudi pekerti mulia (akhlaqul karimah) selain kepintaran maka semakin tinggi pendidikan seseorang semakin baik pula orang itu. Dalam hal kepintaran serta penguasaan sains, teknologi, manajemen, dan profesionalisme, tidak diragukan lagi peranan pendidikan tersebut. Membentuk manusia pintar yang tidak dibarengi dengan keluhuran budi pekerti atau perilaku yang baik, alumninya lebih berbahaya daripada orang biasa tetapi baik.
Saya pernah mendengar bahwa membina orang untuk berdisiplin itu lebih susah daripada mengajarkan ilmu pengetahuan. Bahkan mengajarkan orang untuk antri itu perlu setidaknya 8 tahun, sedangkan untuk mengajar matematika berhitung itu cukup 8 bulan. Pernyataan ini terlihat mengada-ada, tetapi demikian adanya. Artinya persoalan disiplin termasuk antri itu perlu dilatihkan setiap hari sejak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau TK (Taman Kanak-kanak) sampai kelas 6 SD. Tindakan atau perilaku (attitude) adalah kebiasaan (habitual) sehari-hari. Jadi, perilaku baik (good attitude) pun harus menjadi kebiasaan sehari-hari. Bila tidak, yang akan tumbuh adalah perilaku yang tidak baik. Karena perilaku jelek itu mudah tumbuh tanpa memerlukan disiplin. Seperti halnya tanah yang dibiarkan, tidak dipelihara dengan baik, tanaman yang tumbuh adalah gulma.
Sebenarnya di dalam konsep antri itu ada unsur menghormati atau menghargai dan memahami hak orang lain. Seseorang yang terbiasa antri tidak akan melakukan penyerobotan. Bila kita melakukan hal-hal yang melanggar prinsip-prinsip “antri”, berarti orang itu berperilaku korup, karena ada hak orang lain yang diambil (diserobot). Di sinilah persoalannya, pendidikan yang tidak menekankan pada disiplin berperilaku mulia atau akhlakul karimah, maka korupsi akan terus subur. Jadi, latihlah upaya menghormati/menghargai orang lain lewat antri, karena di situ juga terletak memahami hak orang lain. Sadar atau tidak sadar, korupsi berarti mengambil hal orang lain.
Mendisiplinkan perilaku baik sejak kecil untuk menjadi kebiasaan adalah kewajiban pendidikan. Bila hal itu sudah terbiasa sejak kecil sehingga membentuk perilaku seseorang, maka tahap berikutnya dalam proses pendidikan menjadi relatif mudah. Termasuk dalam membentuk kebiasaan belajar. Model pendidikan ini bertujuan membangun manusia seutuhnya.
OECD dalam visi Education 2030 adalah berkomitmen membantu para pembelajar (learner) untuk menjadi manusia yang utuh (whole person), meraih potensinya, dan mampu menolong dalam membangun masa depan yang baik bagi dirinya, komunitas dan seluruh alam lingkungan (The Future We Want, OECD, 2018). Hakekatnya, orang yang baik adalah seseorang yang bermanfaat bagi lingkungannya.
Visi Pendidikan OECD 2030 itu diharapkan membentuk manusia bertanggung jawab yang selalu menginginkan masa depan lebih baik melalui kolaborasi, bukan berdasar pada ego demi kepentingan diri atau kelompoknya. Cara pandangnya lebih “sustainability” secara total, tidak sekedar demi keuntungan jangka pendek dan bersifat destruktif terhadap komunitas dan lingkungan. Konsep ini sebenarnya sejalan dengan visi agama (Islam) yakni membentuk manusia yang akhlakul karimah menuju rahmatan lil alamin (kebaikan untuk seluruh alam). Bila dasar pemikiran ini dipahami dan terus menerus dijaga, maka tidak akan ada perilaku korupsi yang jelas-jelas destruktif.
Sudah barang tentu penguasaan sains dan teknologi itu menjadi keharusan (necessity). Apalagi saat ini dunia yang semakin VUCA (volatile, uncertain, complex, ambigue) tentunya komponen “hard skill” dari pembelajar itu menjadi penting. Namun tetap harus berbasiskan kekuatan perilaku baik (akhlakul karimah) yang berada pada wilayah “soft skill”. Bila diberi bobot maka “soft skill” ini menempati sekitar 80%. Artinya, komponen “soft skill” sangat-sangat penting dalam pembentukan manusia yang utuh (whole person) melalui pendidikan.
Tanpa kekuatan akhlakul karimah, pendidikan hanya menghasilkan manusia pintar tapi koruptif. Mereka menjadi pandai melakukan upaya manipulatif yang merusak. Terbukti dari hasil temuan KPK, bahwa para koruptor itu 86% adalah alumni Perguruan Tinggi (PT). Kita harus menyadari semua itu dan segera melakukan “U-turn” dalam proses pembelajaran sejak TK sampai PT.
Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia/Guru Besar IPB
Baca Juga : Peran OJK Sangat Krusial dalam Inovasi Keuangan Digital
Discussion about this post