Dr Mala Nurmala, Peneliti Pusat Studi Biofarmaka Tropika (TropBRC), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University menyebutkan bahwa biodiversitas laut seringkali belum dimanfaatkan secara optimal. Harus ada usaha budidaya dan integrasi serta disiplin ilmu yang mampu memanfaatkannya secara optimal.
Dalam Trop BRC Webinar Series ke-11 dengan tema “Potensi Biodiversitas Indonesia Sebagai Sumber Biofarmaka” (26/10), Dr Mala mengatakan bahwa produk hayati laut sudah dikenal dapat dimanfaatkan dalam bidang biofarmaka, misalnya pemanfaatan kolagen dan turunannya. Pengolahan kolagen dari mamalia sering kali terganjal, sehingga alternatif dari ikan menjadi potensial.
“Kolagen dari ikan ini sebenarnya merupakan suatu alternatif yang sangat menjanjikan karena ikan tropis berbeda dengan subtropis. Kolagen dan turunan yang dihasilkan oleh ikan tropis mirip dengan kolagen mamalia. Kalau kolagen dari kulit ikan subtropis kualitasnya lebih rendah daripada kolagen konvensional,” terang Dosen Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University ini.
Namun demikian, lanjutnya, kulit ikan seringkali diekspor dan kembali ke Indonesia sebagai suplemen yang diimpor dengan harga mahal. Hal tersebut sangat disayangkan karena seharusnya Indonesia dapat mengolah suplemen tersebut secara mandiri.
Menurutnya, aplikasi lainnya yakni pemanfaatan Marine Derived Collagen (MDC) untuk Drug Delivery System (DDS). MDC dapat diaplikasikan sebagai penyembuh luka bakar hingga pengobatan tumor.
“Sebagai penyembuh luka, MDC bertindak sebagai pembawa bioaktif-biomimetik yang mengatur proses penyembuhan luka. Thailand dan beberapa negara lainnya telah menjadikan MDC sebagai alternatif penyembuh luka. Obat dari MDC ini dapat mempercepat laju penyembuhan luka,” imbuhnya.
Pemanfaatan potensial lainnya, tambahnya, yakni teripang sebagai sumber antiinflamasi atau kuda laut sebagai antioksidan. Hingga kini, Indonesia hanya memanfaatkannya dalam keadaan mentah. Padahal, biota laut tersebut dapat dibudidayakan dan dikembangkan lagi potensinya.
Ia juga menyebutkan bahwa laboratorium FPIK telah mencoba untuk mengeksplorasi rumput laut sebagai garam antihipertensi dengan nama dagang GAMY. Penelitian terkait inhibitor SARS-CoV-2 dari hasil perikanan juga sangat menjanjikan ke depannya.
Sementara itu, Dr Mega Safithri, Dosen IPB University dari Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) membahas terkait pemanfaatan biodiversitas darat. Menurutnya, beberapa tanaman lokal telah diteliti dan berpotensi untuk mengatasi diabetes melilitus.
“Senyawa pada tanaman herbal berperan sebagai agen antihiperglikemik. Selain menurunkan kadar glukosa darah, juga menurunkan anion superoksida atau radikal bebas. Contohnya pada aktivitas antioksidan yang dihasilkan dari ekstrak daun sirih merah dan kayumanis. Uji in vitro dilakukan dan kombinasi kedua tanaman tersebut saling bersinergi menurunkan kadar glukosa darah hingga 50 persen,” jelasnya.
Ia menambahkan, penelitian lainnya juga dilakukan pada air ekstrak daun dan kulit kayu surian. Namun perlu dilakukan uji lanjutan hingga pre klinis untuk mengetahui kebenaran dari khasiat tanaman-tanaman tersebut.
Menurutnya, tanaman yang telah dimanfaatkan sebagai antiglikemik dan telah dipasarkan yakni dari daun kumis kucing. Minuman siap saji dari ekstrak air daun kumis kucing bernama Glucidiab Drink hasil kolaborasi IPB University dan PT SOHO memiliki aktivitas antiglikemik dan antioksidan. Produk tersebut juga menjadi produk unggulan PT SOHO.
“Jadi inilah keunggulan dari minuman itu. Bisa meredam radikal bebasnya sehingga komplikasinya ke arah diabetes itu bisa ditahan sehingga tidak terbentuk kesana (diabetes),” pungkasnya. (MW/Zul, IPB)
Baca Juga : Kemampuan Generalis akan Menang di dunia yang Semakin Spesialis
Discussion about this post