Setelah sekian tahun kebijakan pupuk bersubsidi diterapkan, belum ada peningkatan produksi yang signifikan dan berimbang. Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin SE, mengkritisi beberapa kebijakan pemerintah terkait subsidi pupuk tersebut. Ia mempertimbangkan apakah e-RDKK (Sistem Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani) masih harus dipertahankan. Ia turut menyinggung Kartu Tani yang dinilai masih belum efektif penggunaannya terutama bagi petani di pelosok.
Hal ini disampaikannya saat menjadi narasumber dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Seri 6 dengan tema Transformasi Kebijakan Pupuk Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar (DGB) IPB University.
Sudin, sangat mendukung upaya legislatif dalam memberdayakan petani. Namun mekanismenya masih perlu diperbaiki. Perlu adanya langkah-langkah perbaikan sistem pupuk bersubsidi karena kebocorannya tinggi. Baik diperbaiki di hulu maupun hilir.
“Subsidi pupuk harus fokus pada peningkatan produktivitas sehingga harus ada upaya mengurangi terjadinya kasus penggunaan pupuk bersubsidi oleh yang tidak berhak. Terutama di wilayah-wilayah yang banyak terdapat perkebunan,” terangnya.
Sementara itu, Guru Besar IPB University, Prof Muhammad Firdaus turut menyampaikan beberapa rumusan penting yang dirangkum oleh Dewan Guru Besar IPB University. Menurutnya, ada empat hal yang harus diperhatikan dalam subsidi pupuk. Yakni tujuannya harus jelas. Kedua, lebih baik disinergikan dengan pembangunan pertanian secara umum.
“Paradigmanya juga sudah harus menuju SDGs (Sustainable Development Goals). Produktivitas seharusnya juga sudah diukur dengan nilai tambah per hektar,” ujarnya.
Ia menambahkan, beberapa rekomendasi kebijakan dari DGB IPB University saat ini adalah untuk jangka pendek karena subsidi pupuk masih diperlukan demi menjaga ketahanan pangan.
“Pupuk merupakan instrumen pemberdayaan saat petani tidak memiliki akses pada kredit. Tercatat hanya sebagian kecil petani yang memiliki akses kredit, meskipun saat ini alternatif seperti Peer to Peer lending terus berkembang,” ujarnya.
Menurutnya, secara bertahap perlu pengalihan anggaran subsidi pupuk ke instrumen lain. Misalnya subsidi harga pokok, direct income dan mendukung subsistem agribisnis. Diperlukan juga grand design jangka pendek dan jangka panjang untuk proses pengalihan.
“Untuk efektivitas subsidi, diperlukan kesepakatan dalam tujuan subsidi dan cakupan komoditas, sasaran dan validasi data petani penerima dan validasi e-RDKK secara otomatis. Ketepatan waktu perencanaan dan eksekusi di lapangan dan pengaturan distribusi secara terbuka juga penting,” jelasnya.
Ia menambahkan, subsidi pupuk langsung harus diterapkan dengan memanfaatkan teknologi informasi demi mencegah kebocoran. BUMN produsen pupuk diarahkan untuk lebih mengembangkan pupuk non subsidi. Terutama untuk memenuhi kebutuhan hara komoditas bernilai ekonomi tinggi. Jenis pupuk subsidi diarahkan pada pupuk majemuk atau NPK.
“Untuk meremajakan tanah, diperlukan upaya secara masif seperti upaya pengembalian jerami ke tanah. Teknologi pengembalian jerami secara berturut-turut selama tiga tahun tersebut merupakan hasil penelitian IPB University. Hasilnya dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik sampai 30 persen,” tuturnya.
Menurutnya, pemerintah juga harus mendorong fasilitas penyediaan mikroorganisme sebagai alternatif penyedia unsur hara. Sehingga dapat turut mengakomodir target SDGs.
“Ke depan, subsidi majemuk harus diproduksi seoptimum mungkin sesuai kebutuhan hara di lokasi,” terangnya. Maka dari itu, lanjutnya, diperlukan soil big database dengan integrasi data berbagai pihak termasuk perguruan tinggi. Penerapan pertanian presisi serta pengembangan skema closed loop melalui kerjasama pentaheliks juga poin yang penting. (MW/Zul, IPB)
Baca Juga : 26 Mahasiswa UM Surabaya Lolos Program Pejuang Muda Kemensos RI
Discussion about this post