Kita selalu dihadapkan pada persoalan perdebatan pro-kontra, silang pendapat banyak hal. Mungkin inilah salah satu seni kehidupan, terlepas dari bermanfaat atau tidaknya persilangan opini ini. Opini adalah komoditas paling mudah dan murah untuk diramaikan. Tetapi ingat, belum tentu komoditas mudah dan murah ini bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sebagai satu kesatuan dalam NKRI. Sudah cukup lama saya diminta memberi komentar tentang Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 Mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Saya diam seribu bahasa sehubungan saya tidak tahu kandungan permen tersebut. Tanpa harus masuk ke pasal per pasal permendikbudristek tersebut, ijinkan saya berpendapat.
Memang negara kita ini Negara Hukum, tetapi tidak semua persoalan bisa diselesaikan secara hukum. Misalnya, kita punya berbagai peraturan tentang korupsi, tetapi korupsi masih marak. Ada senior saya yang pernah jadi Dubes di Norwegia, bercerita di sana sulit ditemukan, padahal tidak ada KPK. Semua sangat takut berbuat korup atau mengambil hak orang lain walaupun tidak mungkin ada yang tahu. Senior saya itu pernah ketinggalan tas lengkap dengan kamera dan dompet di Mall. Satu jam kemudian kembali lagi, barang itu masih di meja dalam posisi yang sama. Kalaupun ada yang ambil, katanya, itu sudah pasti petugas yang menyelamatkan. Dengan bangga, Senior itu menyampaikan bahwa di Airport ada tulisan “welcome to the most trusted country”. Keren banget.
Kembali ke persoalan permendikbudristek tentang PPKS itu. Mungkin niatnya cukup baik agar kampus-kampus kita terbebas dari perilaku kekerasan seksual. Saya rasa hal itu patut kita acungi jempol. Namun menurut para ahli hukum dan pendidik bahwa itu membuka celah adanya perilaku seksualitas di dalam kampus. Sehingga para pelakunya bebas dari jeratan hukum dan sanksi-sanksi akibat tindakan seksualitas tersebut. Karena didasari suka-sama suka. Seolah-olah akan menghalalkan perzinahan. Hal ini sebenarnya, tetap melanggar etika dan moral kehidupan kampus, karena kampus bukanlah tempat untuk berperilaku serong, termasuk seksualitas. Di luar kampus pun perilaku seksualitas menyimpang tentu tidak boleh dianggap wajar.
Munculnya permen itu disebabkan adanya dugaan bahwa kekerasaan seksual di dunia kampus sudah cukup mengkhawatirkan. Padahal kampus adalah tempat untuk mencari ilmu pengetahuan dan teknologi serta syarat dengan etika dan moral kehidupan kampus. Di dalamnya adalah civitas akademika yang seharusnya menjadi “role model” kehidupan berbudaya tinggi.
Pertanyaannya, mengapa perilaku menyimpang terjadi di suatu tempat yang mestinya steril dari perilaku menyimpang, seperti seksualitas, korupsi, perkelahian, perundungan (bullying) dan perilaku tidak baik lainnya? Pertanyaan mendasar inilah sebaiknya dijadikan renungan oleh para pendidik. Ada apa dengan dunia pendidikan di Indonesia? Bukan saja di tingkat universitas.
Saya melihat persoalan pendidikan secara menyeluruh dari dasar sampai perguruan tinggi jauh lebih penting daripada sekedar Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 Upaya pemerintah untuk menghilangkan perilaku seksualitas menyimpang itu sebaiknya dilihat dari kacamata positif. Yakni kampus jangan sampai menjadi tempat perbuatan yang merusak diri dan komunitas. Tidak perlu mencari celah seakan-akan melegalkan sesuatu yang tidak bermoral. Jangan kita menyetujui adagium “peraturan dibuat untuk dilanggar”. Hal ini berlaku juga bagi perbuatan “academic misconduct”, seperti mencontek.
Perlu ditekankan bahwa lembaga pendidikan bukan sekedar tempat mencari ilmu. Tetapi jauh lebih mendalam daripada penguatan kompetensi keilmuan dan teknologi. Budi pekerti atau akhlakul karimah itulah landasan kehidupan di lembaga pendidikan. Di dalamnya mengandung saling hormat dengan ekosistem pendidikan yang berkaitan dengan pembinaan watak dan karakter maju, bukan sifat rakus terbius oleh hawa nafsu kekuasaan, kekayaan, dan seksualitas.
Maka dari itu fondasi pendidikan dasar dan menengah adalah di tataran watak kepribadian dan semangat juang. Para peserta didik adalah mereka yang terbangun sifat-sifat kemanusiaan yang makhluk spiritual (spiritual being) yang memiliki sifat kreativitas, inovatif, inisiatif, imaginatif, inspiratif, selain tentunya nalar (reason) dan memori. Bila kita terjebak pada penjejalan memori dengan informasi-informasi pengetahuan, tidak mustahil komponen lainnya sulit berkembang. Sehingga mereka lelah akibat proses pendidikan itu sendiri. Akhirnya mereka mencari pelampiasan, salah satunya melalui ekspresi seksualitas.
Bila makna dan proses pendidikan dibiarkan apa adanya, peserta didik bisa jadi konsumen teknologi, bukan penemu teknologi. Selain itu, polemik Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 akan terus jadi bahan diskusi, sementara persoalan KS (kekerasan seksual) semakin sulit diatasi. Marilah kita back to basic: jadikan pendidikan untuk memanusiakan manusia.
Asep Saefuddin (Rektor Universitas Al-azhar Indonesia/Guru Besar IPB)
Baca juga : Guru Besar IPB University Bahas Pentingnya Pendekatan Bioinformatika di Era Big Data
Discussion about this post