Tidak perlu diragukan, orang Minang atau Padang adalah komunitas perantau. Dimana-mana ada. Bukan hanya di seluruh Indonesia, bahkan di berbagai penjuru dunia.
Satu kelebihan perantau Padang adalah masih bangga dengan karakteristik khas mereka. Selain masih menggunakan bahasa Minang, mereka juga tidak segan-segan mengaku sebagai orang Minang.
Mereka juga suka berkumpul sesamanya. Jika ada tiga-empat keluarga dalam suatu kawasan perantauan, mereka pasti membuat perkumpulan. Dimana saja mereka berada.
Tak diduga sebelumnya, sore ini saya bertemu dengan rombongan bapak-bapak. Ba’da Ashar di Masjid Omar Wollongong. Ketika saya masih beres-beres sedikit di bagian belakang, tiba-tiba ada yang menyahut. Indonesia ya? Katanya.
Tentu mereka mengenal saya sebagai orang Indonesia karena memakai peci hitam. Mereka datang sebanyak lima orang. Dalam perjalanan pulang dari Kiama ke Sydney. Jarak antara Kiama dengan Sydney adalah sekitar 150 km. Kota Wollongong berada di tengahnya.
Ketika mereka sedang salat, saya berinisiatif membuatkan teh. Di Masjid Omar memang ada fasilitas membuat teh. Ada gula, teh, gelas dan ceret listrik. Saya tak perlu sungkan membuat teh di Masjid ini, karena sudah familiar dengan pengurus.
Usai salat, saya ajak minum teh. Dengan senang hati kelima bersedia minum teh bikinanku. Tak disangka bertemu sesama saudara di sini, kata mereka. Cerita ini dan itu, semakin akrab, karena sama-sama dari Sumatera dan tidak jauh. Berbatasan langsung, Sumatera Barat dengan Sumatera Utara, kampung halamanku.
Mereka sudah lama bermukim di Sydney. Bahkan sudah punya cucu di sini. Semuanya sudah pensiun dan sisa menikmati hari tua. Mereka ke Kiama adalah untuk rekreasi bersama. Sesama pensiunan, sesama satu kampung.
Gwynneville, 24.11.21
Haidir Fitra Siagian (Ketua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Australia, Dosen UIN Alauddin Makassar)
Baca Juga : UNNES Masuk 10 Besar Perguruan Tinggi Versi 4ICU UniRank
Discussion about this post