Tidak terasa kita telah lama mengalami VUCA. Suatu keadaan dimana begitu labil naik turun atau Volatile, tidak ada kepastian atau Uncertain, sangat rumit atau Complex, dan membingungkan atau Umbigue. Para perencana organisasi berbagai bidang, termasuk dunia pendidikan, telah menjadikan VUCA sebagai asumsi dalam perencanaan.
Dengan memahami VUCA, organisasi dan juga individu harus mampu menjawab masing-masing akronim itu. Untuk menjawab volatilitas atau perubahan naik turun yang super cepat, kita dituntut untuk mampu mendeskripsikan visi masa depan secara lebih jelas (clear vision).
Ketidakpastian atau uncertainty mengharuskan memahami lingkungan (situasi sekitar kita) dengan sebanyak mungkin mengolah informasi. Kemampuan analisis data menjadi alat penting dalam situasi kepastian ini.
Kompleksitas (complexity) terjadi karena saling berkaitannya berbagai faktor. Keadaan ini juga menyebabkan masa depan sulit diprediksi. Dalam menjawab keadaan rumit ini kolaborasi dan komunikasi dalam sebuah organisasi menjadi sangat penting.
Kebingungan atau ambigue terjadi karena dugaan model linier sebab-akibat tidak lagi relevan. Para perencana organisasi tidak lagi mudah membuat strategic planning jangka panjang atau bahkan jangka pendek sekalipun. Semuanya harus memasukan skenario.
Kesimpulannya, pemahaman terhadap VUCA sangat membantu organisasi terus maju dan berkembang. Atau setidaknya bertahan.
BANI
Pertanyaannya, apakah memahami VUCA itu sudah cukup? Lalu kita dapat terus bertahan dalam menjawab berbagai tantangan luar. Bagaimana dengan keadaan “sudden death” atau jalan buntu yang betul-betul mentok? Kita tidak bisa maju atau sulit bergerak ke kiri atau ke kanan. Misalnya ada serangan covid19 yang serba “ujug-ujug”. Sepertinya konsep VUCA mulai mengalami perubahan.
Jamais Cascio (2020) seorang antropolog Amerika menganggap bahwa VUCA tidak lagi menggambarkan situasi saat ini. Sebelum adanya covid19, disrupsi teknologi, serta carut marut perpolitikan dunia, VUCA dapat menggambarkan kondisi dunia saat itu. Namun, situasi tidak VUCA lagi, tapi BANI, demikian menurut Cascio.
BANI adalah singkatan dari Brittle alias mudah pecah, Anxiety adalah keadaan yang mengkhawatirkan, N adalah Non-linear atau tidak lurus, dan I adalah Incomprehensible atau sulit dipahami. Memang demikianlah keadaan saat ini sehubungan adanya virus yang jelas merubah berbagai pola kehidupan. Dunia bisnis banyak yang roboh akibat kesulitan menghadapi kondisi.
Manusia yang dilengkapi 6 faktor keunggulan, yakni nalar, memori, imaginasi, intuisi, keinginan, dan persepsi tentu harus dapat menjawab persoalan BANI ini.
Untuk menghadapi kondisi “brittle” ringkih mudah pecah itu kita dituntut punya kapasitas daya adaptasi. Untuk menjawab “anxiety” atau kekhawatiran harus manusia dituntut untuk mempunyai rasa empati dan kepedulian terhadap sesama. Artinya, tidak sekedar kerjasama, tetapi uluran tangan pun harus dilakukan.
Keadaan non-linier menuntut kita lebih memahami bahwa saling kait mengaitnya masalah. Kemampuan daya analisis transdisiplin menjadi keharusan. Terakhir, tentang incomprehensible atau sulit dipahami itu memerlukan manusia untuk mau membuka diri. Memahami perbedaan pendapat dan toleransi.
Ujung-ujungnya, dalam menghadapi kondisi BANI ini, peranan pendidikan di dalam keluarga dan persekolahan menjadi faktor kunci. Sistem pendidikan yang terlalu mengarah pada kemampuan IQ harus dirubah dengan konsep inteligensi ganda (multiple intelligence), kolaborasi, empati, dan toleransi. Dalam hal kompetensi, perlu juga diasah kemampuan transdisiplin dengan melihat masalah dari berbagai sudut pandang. Tanpa itu, Indonesia sulit menghadapi keadaan VUCA yang BANI.
Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia/Guru Besar IPB
Baca Juga : Nuklir, Solusi Energi Ramah Lingkungan
Discussion about this post