Entrepreneur di Indonesia masih berada di ruang sepi. Keberanian para pemuda masuk ke ruang entrepreneur ini masih belum terbangun. Memang jiwa entrepreneurship banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan keluarga dan sistem pendidikan. Walaupun zaman sudah berubah, sistem pendidikan dan guru-guru belum terlalu mendukung para siswa untuk berjiwa entrepreneur. Yakni keberanian mengambil kesempatan untuk melangkah maju, terutama dalam dunia bisnis.
Entrepreneur diambil dari bahasa Perancis yang artinya kurang lebih “keberanian mengambil kesempatan di antara celah-celah kesempitan”. Orang-orang pintar biasanya kuat dalam daya analisis, tetapi serba ketakutan. Umumnya jiwa beraninya tidak berkembang. Sehingga jarang sekali entrepreneur adalah mereka yang bertitel S3. Kalaupun ada, umumnya semacam penghargaan atau Dr Honoris Causa (Dr.HC).
Mudah-mudahan situasi agak berbeda dengan adanya disrupsi-disrupsi akibat teknologi atau bencana alam, termasuk serangan covid19. Situasi menjadi tidak “karu-karuan”. Keadaan ini oleh Jamais Cascio (2020) disebut BANI yakni Brittle, Anxiety, Non-linear, Incomprehensible. Katanya, VUCA sebagai akibat perang dingin dekade 80 sudah tidak relevan lagi. Memang situasi akibat disrupsi teknologi plus covid19 ini, banyak entitas yang rontok atau pecah berkeping-keping (brittle). Dunia semakin mengkhawatirkan (anxiety), non-linier, dan sulit dipahami (incomprensible).
Manusia sebagai makhluk berpikir tentu tidak bisa menerima begitu saja. Harus ada jalan keluar dari kondisi BANI ini. Entrepreneur dengan penguatan K3 (kapabilitas, kompetensi, dan kolaborasi) sebagai jalan keluar dari gencatan BANI.
Universitas sebagai kawah candradimuka bagi kemajuan para pembelajar harus mau membuka pintu terhadap situasi luar. Pemerintah juga, dalam hal ini Kemendikbud-Ristek, jangan terlalu mengekang pengelola kampus dengan regulasi-regulasi yang ketat. Program studi yang menggabungkan antara teknologi digital dan entrepreneurship sebaiknya tidak perlu minta ijin pemerintah. Biarkan saja dibuka dan nanti pasar sendiri yang akan menilai. Jangan dipertanyakan kelayakannya melalui alat FS (Feasibility Study) model lama. Tidak akan cocok. Sebab jenis pekerjaan pun bisa saja “brittle” yang menuntut daya adaptabilitas dan fleksibilitas tinggi. Bisa saja bidang yang saat ini dipejari, tahun depan sudah usang. Begitu cepat perubahan lanskap tenaga kerja akibat teknologi disrupsi.
Begitu juga dosen sebagai penggerak kemajuan mahasiswa, harus mau melakukan perubahan paradigma. Dosen bukan lagi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Tetapi dosen justru harus memotivasi mahasiswa untuk mencari pengetahuan dari berbagai sumber, mendiskusikan masalah, membahas solusi, serta merumuskan hasil-hasil diskusi menjadi rekomendasi perencanaan kegiatan. Dan banyak lagi kegiatan yang mendorong mahasiswa tidak sekedar mencari nilai kelulusan. Mereka harus sering mendiskusikan kasus bisnis yang tali temali dengan aspek hukum, sosial, birokrasi, dan regulasi atau model pembelajaran eksperiensial (experiential learning). Dosen harus kuat dalam jejaring dengan institusi pemerintahan dan bisnis swasta, sampai ke manca negara.
Program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) yang saat ini sedang digalakkan pemerintah sangat cocok untuk pendidikan entrepreneurial. Mahasiswa ditantang untuk mau belajar di luar prodinya, bahkan di luar kampus sampai ke Luar Negeri sekalipun. MSIB (Magang dan Studi Independen Bersertifikat) bisa membuka wawasan mahasiswa sekaligus belajar membuat jejaring dan pengetahuan praktis.
Program IISMA (Indonesia Interbational Student Mobility Award) perlu diperluas jumlah dan partisipan dan kampus kerjasama. Di sini sejak awal mahasiswa harus mempunyai kemampuan bahasa asing (terutama Inggris) secara aktif baik lisan ataupun tulisan. Inipun merupakan jenis tuntutan keberanian sebagai ciri entrepreneurship.
Program kepedulian terhadap bencana dapat menjadi bagian MBKM di kegiatan peduli bencana. Mahasiswa yang punya skill dan aktif di Menwa (Resimen Mahasiswa) dapat dilibatkan untuk turun ke lapangan. Inipun menjadi bagian solusi tergadap “anxiety” dalam BANI. Seorang entrepreneur juga harus punya empathi kepada sesama.
Untuk mengisi ekonomi Indonesia, kampus harus diperlakukan sebagai tempat pengkaderan calon entrepreneurship. Kementerian serta Badan-badan di tingkat pusat dan pemerintah daerah sebaiknya mendukung program MBKM dengan pendekatan baru, bukan birokrasi. BUMN dan perusahaan diajak berperan secara aktif dalam program MBKM ini. Buatlah semuanya serba cepat dan Non-BAU (business as usual).
Asep Saefuddin (Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia/Guru Besar Statistika IPB)
Baca Juga : Pakar UGM Harap Masyarakat Sadar Pentingnya Perlindungan Data Pribadi
Discussion about this post