Akhir-akhir ini kita disuguhi banyak berita menyedihkan sekaligus mengerikan. Apa itu? Perkosaan dan kekerasan seksualitas di lembaga pendidikan. Bahkan pesantren.
Mengapa hal itu kejadian menyedihkan dan mengerikan? Karena lembaga pendidikan (apalagi pesantren) adalah suatu tempat yang seharusnya steril dari kejadian amoral, apalagi kekerasan seksualitas dan atau perkosaan.
Orang tua menitipkan anaknya di lembaga pendidikan tidak lain agar anaknya jadi orang yang berguna, berbudi baik, berperilaku terpuji dan perilaku akhlaqul karimah lainnya. Selain anaknya memiliki ilmu pengetahuan agama dan ilmu umum lainnya untuk bekal hidupnya di masa datang. Semua itu hancur lebur, rontok akibat menjadi korban kekerasan seksual (perkosaan) yang memadamkan masa depannya. Apalagi perkosaan itu dilakukan oleh guru, ustad, atau dosen yang dianggap panutan di lembaga pendidikan.
Korban umumnya tidak melaporkan kepada siapapun karena serba ketakutan. Termasuk tidak melaporkan kepada orang tua dan saudara-saudaranya. Sehingga tidak mustahil kejadian kekerasan seksual itu berulang-ulang dan menimpa banyak orang. Tetapi semuanya aksi diam, walaupun murung dan sedih. Baru terkuak setelah ada yang curiga, baik dari keluarga ataupun warga sekitar. Intinya, bau busuk bangkai lama-lama juga akan ketahuan. Serapat apapun bangkai itu dibungkus, pasti akan ketahuan juga. Tinggal masalah waktu saja.
Upaya solusi
Lembaga pendidikan seperti pesantren, SD, SMP, SMA/K, dan Perguruan Tinggi adalah tempat orang-orang terdidik. Lembaga ini harus menjadi contoh berkembangnya nilai-nilai kemanusiaan yang agung. Jangan sekedar tempat untuk alih ilmu pengetahuan dan teknologi saja. Tetapi harus menjadi tempat bertumbuhnya moralitas terpuji.
Guru dan dosen harus menjadi penjaga gawang moral kehidupan lembaga pendidikan. Merekalah yang seharusnya menjadi suri tauladan akhlakul karimah dan PMA (Positive Mental Attitude).
Namun demikian, berhubung manusia punya hawa nafsu, di lembaga pendidikan itu wajib ada unit yang berkaitan dengan etika. Kepala unit etika wajib melakukan kontrol rutin terhadap perilaku warga sivitas akademikanya yakni guru/dosen, tenaga administrasi, dan siswa/mahasiswa atau santri.
Kekerasan seksual dan perkosaan di lembaga pendidikan harus dikategorikan sebagai kejahatan superberat. Sehingga hukumannya sangat berat, sampai ke hukuman mati. Jangan permisif untuk masalah kejahatan seksualitas ini. Mengapa? Karena dampak yang diterima oleh korban itu sangat fatal, bisa merusak masa depan korban.
Hukuman harus diterapkan segera, jangan menunggu kejadian berulang-ulang yang menimpa banyak korban. Untuk itu korban atau siapapun yang tahu dan melapor harus dilindungi. Sehingga kejadian pertama adalah kejadian satu-satunya. Dan pelaku langsung dikenakan hukuman berat. Dengan demikian kejadian “mengerikan dan menyedihkan” itu tidak harus menunggu setelah ada puluhan korban.
Organisasi masa seperti Muhammadiyah, NU, ICMI, organisasi agama lainnya harus berani mengutuk keras dan menuntut pelaku bejat moral itu segera dihukum mati. Lembaga tempat pelaku kejahatan seksual itu harus segera dibersihkan dan cuci hama. Jangan sampai masih ada benih-benih di dalamnya. Untuk melindungi generasi yang saat ini sedang belajar, tidak boleh permisif. Tidak perlu ada toleransi terhadap orang yang melakukan kekerasan seksual ini.
Asep Saefuddin (Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia/Guru Besar IPB)
Baca Juga : Ahli Jelaskan Pentingnya Self-Acceptance Untuk Kesehatan Mental
Discussion about this post