Budaya data (Data Culture) adalah suatu kebiasaan menghormati dan memahami pentingnya data. Dalam penarikan kesimpulan, data sangat penting. Begitu juga dalam hal rekomendasi. Tanpa data yang benar, secanggih apapun analisisnya, tidak akan dapat memberikan kesimpulan dan rekomendasi yang benar.
Dapat disimpulkan adanya hubungan linier antara data dan kebijakan. Yakni fakta dicatat menjadi data, lalu jadi informasi, ilmu pengetahuan dan ujungnya kebijakan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa budaya sangat esensial dalam proses pembuatan kebijakan.
Pertengahan abad 17 di Inggris ada seorang perawat, Mrs. Florence Nightingale, didaulat sebagai statistisi perempuan pertama. Pasalnya dia rajin mencatat data orang-orang yang terkena sakit campak di berbagai daerah. Catatan data itu, walaupun sangat sederhana, tetapi menjadi informasi awal untuk alokasi biaya dan penanggulangan penyakit. Sehingga terjadi “target effectivity” dan “cost efficiency“.
Pada waktu saya tugas belajar di Universitas Guelph Kanada, sempat diminta menelaah produktivitas susu sapi sejak tahun 1938 sampai saat itu tahun 1992. Semua catatan tentang sapi sejak tahun 1938 itu terdokumentasikan dengan rapi dalam pita. Banyaknya data sapi itu memerlukan ruang sekitar 10×10 meter dengan tinggi sekitar 7 meter. Ruang itu penuh dengan gulungan pita. Saya tinggal meminjam gulungan pita yang akan dianalisis dengan menyebutkan nomornya untuk dihubungkan dengan alamat email saya. Saat itu memang belum ada “cloud computing“.
Dari dua cerita itu bisa kita tarik kesimpulan bahwa budaya data mereka (Inggris dan Kanada) sudah sangat kuat. Jauh sebelum ada disrupsi teknologi. Pemahaman dan penghormatan terhadap data itulah yang membuat mereka menyimpan data dengan sungguh-sungguh. Mereka ingin ada kesimpulan berbasis data. Dampak dari itu semua adalah kemajuan teknologi yang berkaitan dengan data, seperti data storage dan cloud. Disrupsi teknologi saat ini yang dilengkapi dengan “Big Data” adalah buah dari kesungguhan kita menghormati data. Dan itu berkaitan dengan sifat dasar manusia, yakni kejujuran. Selain tentunya diteruskan dengan kemampuan berimaginasi, kreativitas, inovatif, dan kolaboratif. Sifat-sifat inilah yang harus dipupuk di sekolah sejak dini. Apakah sistem pendidikan kita demikian? Sepertinya masih belum sampai kearah sana.
Asep Saefuddin (Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia/Guru Besar IPB)
Baca Juga : Polemik Permendikbudristek No 30 Tahun 2021
Discussion about this post