Dalam rangka mengupdate isu permasalahan dan strategi yang harus dilakukan dalam melindungi nelayan tradisional Indonesia yang melakukan lintas batas, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University bersama dengan Universitas Nusa Cendana (Undana) melakukan kegiatan Focus Group Discussion (FGD), 20/6 di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Akhmad Solihin, SPi, MH selaku Deputi Bidang Sosial Ekonomi dan Kebijakan PKSPL IPB University mengungkapkan, permasalahan nelayan pelintas batas masih menjadi isu yang selalu menarik untuk didiskusikan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya nelayan-nelayan Indonesia yang pergi melaut ke Pulau Ashmore yang masuk dalam wilayah Australia, dan pulau sekitarnya yang disepakati bersama kedua negara.
“Nelayan Indonesia memiliki sejarah panjang dalam melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Australia. Bahkan, praktik-praktik penangkapan tradisional ini terjadi jauh sebelum Indonesia dan Australia mendeklarasikan sebagai negara merdeka. Oleh sebab itu, kedua negara melakukan nota kesepahaman pada tahun 1974,” ungkap Akhmad Solihin pada FDG yang berlangsung di kantor pemerintahan Bapelitbang, Kabupaten Rote Ndao.
Penandatanganan nota kesepahaman tersebut dikenal dengan istilah MoU BOX 1974, karena wilayah penangkapan yang disepakati berbentuk kotak. Hal ini bertujuan untuk mengakui kegiatan penangkapan ikan secara tradisional di wilayah perairan zona ekonomi eksklusif Australia oleh nelayan-nelayan yang berasal dari Indonesia.
Di sisi lain, menurut Akhmad, upaya perlindungan terhadap nelayan pelintas batas oleh pemerintah Indonesia masih kurang. Selama ini jumlah nelayan yang keluar masuk daerah perbatasan kurang mendapat perhatian.
“Sebaiknya negara hadir sebagai regulator dalam mengatur pelayaran melalui syahbandar, sehingga nelayan yang berlayar menuju daerah perbatasan dapat terpantau dan masyarakat nelayan merasa mendapat perhatian,” ujar dia.
Pada kesempatan yang sama, Drs Jermi M. Haning, PhD selaku Kepala Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan (Bappelitbang) Kabupaten Rote Ndao menambahkan, nelayan pelintas batas jangan dilarang-larang. Pasalnya, karena itu adalah hak nelayan.
“Yang diperlukan oleh nelayan sekarang adalah upaya-upaya perlindungan di lokasi-lokasi dimana mereka melakukan titik pemberangkatan. Selain itu, masalah ganti rugi tumpahan minyak PT Montara yang tidak kunjung dibayarkan, serta perubahan iklim yang menciptakan badai siklon telah menghancurkan pemukiman warga,” tutur Kepala Bappelitbang, Kabupaten Rote Ndao itu.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Rote Ndao, Jusup B Messakh, SPd menyambut baik acara ini. Karena beberapa pekan sebelumnya mereka diundang oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dan Kementerian Luar Negeri untuk membahas mengenai mata pencaharian alternatif bagi nelayan-nelayan pelintas batas yang berasal dari Kabupaten Rote Ndao. Selain itu, disampaikan pula bahwa badai seroja telah berdampak serius bagi kelangsungan hidup perikanan Rote Ndao, karena telah merusak hamparan terumbu karang sehingga menjadikannya pulau gosong pasir.
Turut hadir pada acara ini Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup. Pihak terkait lainnya yang hadir adalah Satuan Kerja Rote Ndao Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu, Reef Check Indonesia, dan akademisi Universitas Nusa Cendana. (*)
Discussion about this post