BANDUNG, itb.ac.id—Materials Electrochemistry Laboratory (MEL) merupakan sebuah laboratorium milik Teknik Material ITB yang berfokus pada pengembangan material, sistem, dan arsitektur untuk perangkat penyimpanan energi dan aplikasi berbasis elektrokimia lainnya. Salah satu penelitian yang tengah digarap adalah pengembangan baterai ion litium (Li-ion) untuk menunjang industri baterai di Indonesia.
Mahasiswa Teknik Material ITB, M. Hamzah Raihan Pasha (MT ’19) juga terlibat dalam penelitian tersebut. “Kami melakukan penelitian tentang anoda berbasis silikon untuk baterai Li-ion. Ekstraksi silikon didapatkan dari biomassa. Semuanya memanfaatkan sumber-sumber alami seperti hewan dan tumbuhan. Ada beberapa sampel biomassa yang digunakan, salah satunya tanaman purun.”
Bersama dengan rekannya, Paramadina Masihi Nasution (MT ‘19) dan Nabila Fathonah dari Teknik Lingkungan (TL ‘19), ketiganya menjajaki peruntungan dengan mengikuti Pertamina Space Up 5.0. Perlombaan ini merupakan kompetisi tahunan tingkat internasional yang dihelat oleh Universitas Pertamina. Mereka berhasil tampil sebagai juara pertama.
Kelebihan baterai yang dikembangkan adalah memiliki kapasitas yang lebih tinggi dibandingkan anoda komersial yang menggunakan material grafit. “Kami mencari material lain yang bisa digunakan sebagai pengganti, yakni silikon. Silikon dapat disintesis dari sumber yang terbarukan dan ramah lingkungan, seperti biomassa,” ujar Pasha.
Kapasitas baterai tersebut secara teori dapat mencapai 4200 mAh/g, tetapi setelah dilakukan proses pengujian nilainya berada di kisaran 347,37 mAh/g. “Namun, jika dibandingkan dengan material grafit secara teori bahkan hanya 372 mAh/g dan nilai aktualnya berkisar antara 280-300 mAh/g. Meskipun secara teori dan praktik masih jauh, material silikon jauh lebih unggul dibandingkan dengan grafit,” imbuhnya.
Setelah rangkaian eksperimen dilakukan oleh mahasiswa Teknik Material, Nabila sebagai mahasiswa Teknik Lingkungan, andil dalam proses check and balance. “Kita harus melihat emisi dari pembentukan suatu produk, tidak hanya menyorot material dari biomassa saja. Besar energi yang terpakai juga harus diperhitungkan sebelum akhirnya bisa memberikan label ramah lingkungan pada suatu produk,” tutur Nabila.
“Proses mining dan flotation di fase material ekstraksi grafit menghasilkan sejumlah 2 kg CO2eq per 1 kg anoda. Menurut kalkulasi kami, proses harvesting biomassa yang dihitung dari hilangnya stok karbon yang ada pada biomassa hanya akan memakan 0,5 kg CO2eq untuk pembuatan 1 kg anoda,” katanya pada Selasa (28/3/2023).
Menurut Nabila, opsi budidaya untuk biomassa bervariasi dan tidak hanya berkutat pada proses yang intensive energy. Salah satunya dapat diperoleh dengan budi daya lokal maupun konvensional yang memberdayakan masyarakat sekitar.
Kolaborasi lintas jurusan yang dilakukan membuat transfer ilmu yang menunjang penelitian ini. Selain itu, mereka juga memanfaatkan tanaman purun yang berasal dari Indonesia sebagai solusi. Proses pembuatan dan pengujian yang dilakukan memakan waktu dua bulan. Keberhasilan ini tak luput dari bimbingan Afriyanti Sumboja, Ph.D., dosen Teknik Material ITB.
“Semoga penelitian tentang baterai lebih berkembang, melihat kebutuhan atas renewable energy semakin meningkat. Selain itu, ada fenomena yang masih bisa dipelajari dan dikembangkan agar kapasitas baterai secara teori dapat tercapai,” ungkap Pasha.
Pada akhir wawancara, Paramadina menekankan bahwa sebenarnya Indonesia mampu menawarkan local based solution for global issues dengan kearifan lokalnya yang masih bisa terus dikembangkan.
Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)
Discussion about this post