Tanggapan atas tulisan Abdul Wahab Ahmad
Oleh : Ahwan Fanani, Guru Besar UIN Walisongo Semarang
Ada satu ahli agama yang bertanya, apakah tinggi hilal 0 derajat itu bisa menjadi penanda datangnya bulan baru? Pertanyaan tersebut sekilas tampak benar, tetapi bisa membawa pemahaman yang tidak benar. Dalam bahasa logika disebut fallacy. Sebenarnya pula pembahasan mengenai dasar wujudul hilal tersedia online berupa penjelasan dari Majelis Tarjih, ulama Tarjih hingga para peneliti. Jika masih belum bisa memahami juga, yah memang move on kepada pemikiran baru itu tidak mudah, meski lebih jelas.
Kenyataannya, penentuan awal Ramadhan dan Syawal saat ini berdasarkan penyimpulan. Imkanur rukyat itu juga teori baru yang tidak ada pada zaman Rasul. Untuk benarnya rukyat disyaratkan ada usia bulan berdasarkan ijtima’ dan juga memperhitungkan sudut elongasi pun tidak ada dalilnya dalam Alquran maupun hadis pun tidak bisa dirukyat. Lalu, apakah imkanur rukyat itu sejenis bid’ah juga? Enggak juga lah!
Penyimpulan adalah pengetahuan tidak langsung yang didasarkan pengetahuan langsung. Menurut al-Ghazali dalam Al-Mustashfa penyimpulan melalui qiyas burhani (penyimpulan tak langsung dengan premis yang meyakinkan) itu membawa kepada pengetahuan yang qath’i. Hasil hisab itu juga bentuk penyimpulan berdasarkan perhitungan atas posisi rembulan dan matahari.
Menurut Taqi al-Din al-Subki, dalam Fatawa-nya, hisab bahkan lebih meyakinkan dibandingkan rukyat. Hal itu diperkuat oleh Yusuf al-Qardlawi bahwa ketika rukyat itu dzanni (prasangka), sedangkan hisab itu qath’i (membawa pada kepastian) maka menggunakan dasar hisab termasuk qiyas aulawi (petunjuk yang tidak disebutkan teks lebih kuat dibandingkan yang disebutkan).
Contoh, Alquran hanya melarang untuk mendekati zina, apakah dengan demikian zina itu boleh? Jawabannya jelas, meskipun yang dilarang berdasarkan petunjuk nash adalah mendekati zina, tetapi karena perbuatan zina lebih berat kesalahannya dibandingkan mendekati maka larangan zina lebih jelas lagi, meski tidak eksplisit disebutkan.
Buktinya sekarang, banyak rukyat ditolak berdasarkan hasil perhitungan hisab, padahal pada zaman Nabi Muhammad persaksian daruli satu oranf adil bahwa ia melihat hilal pun diterima, tanpa perlu dicek tinggi hilal, usia bulan, dan sudut elongasinya. Lalu mengapa ada tambahan kriteria yang tidak ada dasar syar’inya? Apakah itu sejenis bid’ah juga? Nggak juga lah. Itulah penyimpulan yang dipakai manusia untuk memastikan hilal bisa dilihat.
Kembali pada pertanyaan apakah hilal 0 derajat itu sudah masuk bulan baru? Pertanyaannya itu perlu ditanyakan ulang, apakah ada yang menetapkan bulan baru dengan tinggi hilal 00.00.00?! Yang ada adalah penetapan dengan ketinggian 00 derajat, sekian menit, sekian detik. Itu bukan 00.00.00, melainkan sudah ada tambahan menit dan detik.
Mempertanyakan keabsahan penetapan demikian sama saja dengan menanyakan apakah menit ke-2 pada hari pertama bulan Januari 2024 sudah masuk tahun baru? Bukankah satu tahun itu 365 hari, dan satu hari itu 24 jam alias 1440 detik? Lalu apakah baru dua detik lewat dari jam 12.00 atau jam 00.00 itu sudah masuk tahun baru 2024. Sampai saat ini penduduk dunia sepakat, bahwa hari baru, bulan baru dan tahun baru tiba begitu jarum jam meninggalkan jam 00.00 meski satu detik.
Sudah barang tentu penentuan awal bulan Qomariyah tidak persis sama dengan penentuan awal bulan Syamsiyah. Tetapi yang ingin digarisbawahi di sini adalah bahwa penetapan awal bulan itu selalu menjadi wilayah ijtihad manusia. Di Muhammadiyah, masalah ini masuk wilayah dunia, yang berdasarkan sains. Kriteria wujudul hilal itu mencoba untuk tetap berpegang teguh pada adanya hilal sebagai dasar datangnya bulan baru, tetapi dengan mencari titik kepastian berdasarkan ilmu. Meskipun masalah dunia, tetapi karena hasilnya adalah penetapan awal bulan Hijriyah, tentu berdampak pada pelaksanaan ibadah mahdlah yang dikaitkan dengan sabab hukum fenomena alam.
Hisab dengan kriteria wujudul hilal dipilih karena mata manusia terbatas, fenomena hilal yang sama bisa dilihat satu orang, namun tidak bisa dilihat orang lain. Akhirnya penyelesaiannya adalah melalui keputusan politik oleh penguasa, suatu pendekatan yang sudah ditinggalkan dalam penentuan kalender Masehi ribuan tahun lalu. Namun, meskipun alat sudah maju dan perhitungan hisab sudah bisa mencapai pengetahuan qath’i tetap saja rukyat manual yang dipakai karena alasan nash. Orang-orang begini jika diserang Israel pakai tank mungkin yang dicari kuda untuk membuat regu berkuda karena demikian Alquran memerintahkan dalam menghadapi musuh dalam surat al-Anfal ayat 60.
Semarang, 21 Januari 2024
Discussion about this post