Sepuluh tahun terakhir ini, banyak muncul lembaga survei yang menyajikan data statistik terkait kepopuleran tokoh maupun elektabilitas partai maupun individu. Sebagian ditanggapi publik dan pengamat dengan adem-ayem saja, sebagian memunculkan reaksi yang heboh. Menjadi heboh karena ada dugaan kalau survei yang dilakukan merupakan ‘pesanan’, menyenangkan sebagian pihak namun tidak menguntungkan bagi pihak lain.
Sistem Statistik Nasional (SSN) mengandung arti bahwa semua pihak diharapkan mampu menyelenggarakan statistik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan lapangan, pengolahan dan analisis data, serta mendesiminasikan kepada publik. Tentu saja, penyelenggaraan yang dimaksud harus memenuhi kaidah-kaidah statistik, terutama dalam standarisasi konsep/definisi, klasifikasi, serta alat ukur yang tepat.
SSN juga mengandung arti, bahwa statistik bukan hanya dilakukan oleh atau menjadi domain tugas BPS semata, tetapi juga milik semua pihak. Semua kementerian, lembaga pemerintah, lembaga swasta lainnya, serta individu, sah melaksanakan sebuah kegiatan statistik, khususnya survei. Di berbagai kementerian di pusat maupun di Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), ada unit khusus yang menangani data dan statistik.
Perstatistikan ke depan dihadapkan pada isu ‘big data’ dan ‘one data’. Data tidak hanya bicara level macro tapi juga bervariasi hingga level micro. Sehingga para statistisi dan pengguna data akan berhadapan dengan data yang begitu banyaknya (big data).
Kalau dalam dunia pers ada berita yang tidak jelas kebenarannya (hoax), maka data statistik di era sekarang sering dipertanyakan kebenarannya. Besaran statistik untuk persoalan, tempat, dan waktu yang sama seringkali berbeda. Tentu saja itu akan menjadi pesoalan ketika data digunakan untuk tujuan kepentingan yang sama. Perlu adanya sebuah kesatuan data (one data) agar tujuan penggunaannya (untuk perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengambilan kebijakan) benar-benar dapat optimal.
Oleh sebab itu, adanya SSN merupakan sebuah keniscayaan. Harus ada koordinasi, integrasi, sinkronisasi statistik antara produsen data dan pengguna data. Harus ada badan yang jadi pusat rujukan data, dalam hal ini BPS, yang benar-benar menjalankan fungsinya, apalagi sudah diamanatkan dalam UU No. 16 Tahun 1997 tentang statistik.
Siapapun berhak menyelenggarakan kegiatan statistik. Namun, kaidah-kaidah statistik dalam hal konsep/definisi, klasifikasi, dan alat ukur yang tepat harus dipenuhi. Sebagai bagian dari produk intelektual, maka hasil yang diperoleh dari kegiatan statistik (sensus dan survei) harus objektif sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Jangan sampai muncul adanya kesan kalau hasil survei merupakan ‘pesanan’ pihak-pihak tertentu.
Ibram Syahboedin, Pakar Statistik (Kepala BPS Jawa Tengah 2013-2015)
Discussion about this post