Dewan Guru Besar (DGB) IPB University kembali mengadakan Focus Group Discussion (FGD). Kali ini mengangkat topik Masa Depan Pangan dan Pangan Masa Depan: Revolusi Pangan 50.0 Seri ke-2 (2/10). FGD ini membahas proyeksi kebutuhan dan produksi pangan sampai tahun 2050 dan 2100. Acara ini dibuka oleh Ketua DGB IPB University, Prof Evy Damayanthi.
Dalam kesempatan ini, Prof Hardinsyah, Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University menyampaikan materi dengan judul Konsumsi Pangan Saat Ini dan Kebutuhan Pangan Penduduk Indonesia 2050. “Pengeluaran per kapita sebulan periode Maret 2019-Maret 2020 untuk sayur-sayuran naik 19.78 persen dan buah-buahan naik 9.74 persen. Rata-rata konsumsi kalori dan protein per kapita per hari penduduk Indonesia pada Maret 2020 berada di atas standar kecukupan konsumsi kalori dan protein nasional,” ujarnya.
Ia melanjutkan, proporsi pengeluaran untuk minyak dan lemak untuk makanan jadi juga semakin besar dibandingkan dengan periode 5-10 tahun yang lalu. Sedangkan untuk protein semakin beragam sumbernya. “Kalau dulu banyak dari beras, 45 persen, sekarang dari serealia tinggal 31 persen dan sudah bergeser ke aneka ragam pangan hewani yang mulai meningkat. Termasuk juga lauk nabati seperti tahu dan tempe,” jelasnya.
Menurut dosen IPB University dari Departemen Gizi Masyarakat ini, berdasarkan penelitian World Food Program tahun 2021, apabila target konsumsi hanya sekedar bebas dari kekurangan energi (energy sufficient diet) maka itu murah. Orang yang tidak mampu untuk mencapai itu hanya kurang dari 1 persen.
Namun, tambahnya, apabila zat gizi yang harus terpenuhi tidak hanya energi (nutrient adequate diet) maka sebanyak 13 persen orang tidak mampu mencapainya. Namun jika kebutuhan itu minimum, harus healthy diet, hampir separuh orang Indonesia tidak mampu yaitu sebanyak 48 persen.
“Kebutuhan pangan ideal bagi penduduk bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari permintaan pangan dari segi teori pasar. Bila tujuannya untuk hidup sehat produktif diharapkan permintaan pangan diintervensi atau didorong untuk mencapai kebutuhan pangan ideal untuk hidup sehat,” tambahnya.
Sementara itu, Prof Edi Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University menjelaskan fakta produksi pangan hingga tahun 2021. Menurutnya, swasembada tercapai tapi petaninya masih miskin.
“Petani masih belum mandiri dalam produksi pangan. Daya saing produk pertanian kita juga semakin tergerus. Kualitas dan keamanan pangan masih bermasalah. Terjadi erosi komoditas yang diusahakan oleh masyarakat. Dan adanya disparitas harga yang tinggi antar wilayah, antar waktu, dan antar komoditas,” jelas dosen IPB University dari Departemen Agronomi dan Hortikultura ini.
Prof Yonny Koesmaryono, Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) juga hadir dan menjelaskan terkait perubahan iklim.
Menurutnya, persentase bencana nasional Indonesia terbanyak adalah banjir. Perubahan iklim yang ekstrim mengancam kegagalan produksi. United Nation (UN) Report menunjukkan bahwa jika manusia tidak melakukan apa-apa, suhu bumi sebenarnya rendah. Namun pengaruh industri menyebabkan suhu menjadi naik.
“Baru-baru ini di Cina terjadi kegoncangan karena Cina ingin menurunkan emisi-nya. Maka dia harus mematikan beberapa pembangkit listrik batu bara. Akibatnya penduduk menjadi kolaps karena penduduk banyak dan perlu dikasih makan,” ujarnya.
Menurut data Bappenas, lanjutnya, sektor pertanian memiliki kontribusi emisi gas rumah kaca sebesar 13 persen terhadap total emisi gas rumah kaca di Indonesia. Meski demikian sektor pertanian merupakan sektor yang paling rentan dan sensitif terhadap perubahan iklim.
“Ada beberapa langkah antisipatif yang perlu dilakukan. Yakni membuat infrastruktur pertanian, mengembangkan varietas tahan iklim, akses terhadap sarana produksi pertanian dan pemasaran hasil, penguatan kelembagaan pertanian, climate smart agriculture sesuai dengan ekosistem lokal, pencegahan konversi lahan pertanian produktif, food estate program dan yang lainnya,” tandas dosen IPB University dari Departemen Geofisika dan Meteorologi ini.
Prof Hermanto Siregar, Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University menanggapi kajian Prof Hardinsyah terkait proyeksi kenaikan konsumsi beras, “Mungkin kondisi struktur ekonominya belum banyak mengalami perubahan disamping faktor pendidikan. Kalau struktur ekonominya sama seperti saat ini dimana cukup banyak masyarakat yang berada pada posisi menengah ke bawah dan angka kemiskinan juga masih cukup besar sekitar 12 persen maka bisa jadi ada kenaikan konsumsi beras per kapita.”
Sedangkan Dr Saharuddin, Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB University menambahkan penjelasan terkait tantangan pangan dan budaya pangan di masa depan. “Di daerah, saya lihat komoditas yang banyak mengalami persoalan dengan perubahan iklim sekarang adalah komoditas-komoditas yang berasal dari luar daerah bukan dari daerah setempat. Misal jagung hibrida, kakao, jambu mede mengalami kemerosotan dalam era perubahan iklim namun pangan lokal tidak terlihat dampaknya”. (pera/Zul IPB)
Baca Juga : UMS Kembali Tambah Guru Besar ke-33 Bidang Linguistik
Discussion about this post