Pada saat pelantikan Dewan Pengurus Maporina (Masyarakat Petani dan Pertanian Organik Indonesia), 22 Februari 2020, diadakan Webinar tentang peluang ekspor produk pertanian organik ke Eropa. Acara dipandu oleh Prof. Bustanul Arifin dengan narasumber dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Dubes Indonesia di Swiss.
Webinar ini mengingatkan ketika saya dan beberapa dosen mendapat tugas dari Pimpinan IPB tahun 1997 untuk menyusun konsep “pertanian berbudaya Industri” (PBI). Walaupun tidak secara eksplisit saat itu menegaskan basisnya adalah pertanian organik, pada dasarnya materi webinar Maporina dan konsep PBI banyak kemiripan.
Intinya kami berpendapat bahwa pertanian dari hulu sampai ke hilir dan masuk ke pasar domestik dan internasional harus memenuhi berbagai persyaratan konsumen. Apalagi konsumen itu adalah masyarakat yang memahami kesehatan, aspek lingkungan, keamanan produk, estetika kemasan, selain rasa. Disiplin petani menjaga kriteria harapan pasar tersebut harus benar-benar diterapkan. Kebiasaan inilah yang kami definisikan sebagai budaya industri. Orientasinya adalah mutu produk sesuai dengan harapan konsumen.
Layaknya industri, maka pertanian pun harus memegang kontrol mutu, kontinuitas produk, konsistensi jumlah serta mutu, dan menguasai rantai pasok secara sempurna. Semua faktor “industri” itu harus sangat disiplin dipegang dan dijalankan. Bila diperhatikan, budaya inilah yang tidak kuat di masyarakat kita, termasuk masyarakat pertanian. Kita cenderung ingin serba instant. Kurang peduli pada kontinuitas produk dan cenderung selesai di bahan dasar (raw material). Selain nilai tambahnya kurang juga tidak langgeng, terombang ambing oleh dunia yang semakin maju di RI 4.0 dimana kita masih di titik 2.0.
Duta Besar kita di Swiss, Prof. Muliaman Hadad, mencontohkan kenyataan yang kurang baik dari produsen pertanian kita. Yakni hanya bagus di tahap awal, kemudian berubah mutu dan jumlahnya setelah beberapa tahun. Padahal konsumen sudah mulai merasakan produk kita. Tetapi lama-lama kecewa, sehingga tidak meneruskan membeli produk kita. Perilaku asal jadi, tidak kontinu, inkonsistensi, tidak memegang kepercayaan konsumen itu bukanlah ciri industri. Selama produsen pertanian kita hanya bagus di awal, lalu menurun di tahap berikutnya, seunik apapun produk pertanian kita, sulit untuk bertahan. Jangan heran bila masyarakat Eropa banyak melirik produk dari Vietnam, Thailand, India, Ethiopia, dan negara pertanian lainnya.
Dalam konsep PBI, keunggulan komparatif berupa SDA yang kaya, harus diperkuat dengan keunggulan kompetitif. Budaya mutu, konsistensi produk, memelihara kepercayaan pasar adalah sifat industri yang jarang dikuasai pertanian kita. Sebenarnya sifat-sifat ini dapat dilatihkan, sehingga tidak mustahil produk pertanian kita bisa menguasai pasar dunia. Mengapa? Karena keunggulan kompetitif mampu memperkuat keunggulan komparatif Indonesia yang sangat kaya. Apalagi saat ini, teknologi digital sangat mungkin diterapkan dalam dunia pertanian. Sehingga pertanian presisi bukan kemustahilan. Lalu untuk menguasai pasar dapat memanfaatkan e-commerce.
Berita yang menggembirakan perihal produk pertanian organik di Eropa, yakni ada kecenderungan kembali ke nature semakin meningkat. Bukan saja di kalangan penduduk senior tetapi juga di kaum generasi muda Eropa. Informasi ini merupakan peluang emas bagi pertanian organik atau pertanian berkelanjutan yang tidak destruktif terhadap alam. Maporina dapat membina para petani untuk ikut memahami konsep-konsep pertanian berkelanjutan yang bernilai tinggi, tidak eksploitatif terhadap alam, serta memanfaatkan limbah untuk proses produksi pertanian selanjutnya.
Secara alamiah Indonesia sangat kuat dengan buah-buahan, kopi, kakao, rempah-rempah yang sangat disenangi masyarakat Eropa. Potensi luar biasa ini dapat menjadi devisa yang sangat besar. Prof. Muliaman Hadad menyarankan semua produk yang diekspor ke Eropa harus bersertifikasi. Di ujung acara, Pak Dubes menyarankan agar Maporina dapat mempunyai lembaga sertifikasi produk, terutama produk organik. Suatu tantangan yang menarik.
Manfaatkan gaya hidup masyarakat Eropa yang cenderung “back to nature”. Pertanian organik bisa diprioritaskan untuk orientasi ekspor, khususnya Eropa. Model ini akan meningkatkan nilai tambah yang baik untuk petani. Serta bisa menjadi sumber devisa yang besar. Syaratnya, budaya industri dengan berbagai karakteristiknya dari hulu sampai pasar harus benar-benar dikuasai. Masyarakat pertanian organik harus bersatu untuk menguasai pasar internasional. Tanpa itu, pertanian organik kita akan tetap gurem. Hidup enggan, mati tak mau.
Asep Saefuddin (Rektor Universitas Al-azhar Indonesia/Anggota Dewan Pembina MAPORINA/Guru Besar IPB)
Baca Juga : Pengajian PRIM NSW Australia : Dalam Memajukan Agama dan Masyarakat, Perempuan Muhammadiyah Harus Terlibat
Discussion about this post