Kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswi UNRI dan putusan pengadilan yang menyertainya, merupakan salah satu potret dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan di berbagai PT, baik oleh masyarakat sipil maupun oleh KemendikbudRistek, menunjukkan kasus Kekerasan Seksual (KS) merupakan ‘dark number’ tindak kekerasan yang tidak berdiri tunggal, tetapi selalu didasari relasi kuasa yang tidak setara antara pelaku dan korban. Relasi yang tidak setara tersebut di dalam jaringan struktur dan kultur yang kuat lebih menyalahkan korban dan memberikan permakluman bahkan perlindungan pada pelaku membuat lebih banyak korban yang memilih diam, menekan trauma psikologik mereka sendirian. Rasa tidak aman, ketakutan mengalami perlakuan berulang dari pelaku yang sama maupun dari yang lain mewarnai dan menteror kehidupan sehari-hari para korban. Keputusan untuk menghindar dari pelaku, keluar dari institusi adalah beberapa pilihan yang diambil. Namun, dampaknya yang merusak harga diri, konsep diri korban, bersifat jangka panjang dan mendalam. Pikiran untuk bunuh diri, bahkan hingga melakukannya adalah pilihan paling fatal ketika tekanan, ketiadaan dukungan tidak tertahankan lagi. Bagi mereka yang melihat kesamaan dirinya dengan korban turut merasakan ketidak-amanan berada di lingkungan yang sama. Korban dan potensial korban dianggap sudah sewajarnya tidak mempunyai otoritas atas tubuhnya. Ketiadaan respon yang tegas, transparan, non diskriminatif, dan tidak peka pada penyebab mendasar dari KS menyebabkan menguatnya keyakinan bahwa mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi korban tidak dianggap penting/akan dipinggirkan. Sebaliknya, bagi mereka yang mengidentifikasi diri dengan pelaku, akan melihat aman baginya untuk melakukan yang sama. Lahirnya PermendikbudRistek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi merupakan jawaban Pemerintah untuk mencegah dan menangani tindak kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup Perguruan Tinggi di Indonesia. Penanganan yang sistematik, holistik, inklusif, non diskriminatif, berdasar kesetaraan dan keadilan gender, dengan prinsip kehati-hatian, independent, dan untuk kepentingan terbaik bagi korban, merupakan pendekatan kritis yang tidak saja membongkar ketidaksetaraan relasi kuasa yang kuat mewarnai/mendasari beragam bentuk kekerasan seksual; tetapi juga membangun kesadaran di dalam proses pendidikan tentang menjadi manusia yang menghargai martabat kemanusiaan. Bukan hal yang mudah untuk mengimplementasikan PermendikbudRistek PPKS ini. Penolakan dalam berbagai bentuk telah muncul di sana-sini. Upaya melalui jalur hukum juga telah dilakukan. Saat ini Peraturan tersebut sedang digugat di Mahkamah Agung oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Sumatera Barat. Hal yang digugat terkait dengan :
1. Uji formil pembentukan PermendikbudRistek PPKS No. 30/2021 tidak memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf “j”, Pasal 5 huruf “g”, dan Pasal 96 UU No. 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15/2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
2. Uji materiil terkait dengan Pasal 5 ayat (2) huruf “b”, “f”, “g”, “j”, “l”, dan “m” bertentangan dengan Pasal 3, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (3) huruf “a”, “b”, dan “h” UU No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; dan Pasal 4 huruf a, Pasal 5, Pasal 6 huruf b, dan Pasal 8 UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Pasal yang digugat dalam uji materiil adalah yang terkait dengan frasa “tanpa persetujuan korban”. Suatu frasa yang sebenarnya merujuk pada tindakan yang mempunyai unsur paksaan dan/atau manipulasi pada korban. Artinya, Korban sebenarnya tidak menghendaki perbuatan tersebut, atau berada dalam kondisi tidak sepenuhnya menyadari, bahwa ia dipaksa mengikuti kemauan pelaku. Frasa tersebut menggambarkan suatu situasi sehingga suatu tindakan/perbuatan dapat dikategorikan ke dalam kasus kekerasan seksual. Penekanan pada “tanpa persetujuan korban” dalam (Pasal 5 ayat 2) bertujuan untuk mengedukasi dan menguatkan:
a) Korban, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Nomor 12, agar tidak enggan mengungkapkan kejadian yang menimpa dirinya;
b) Satuan Tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi (satgas) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Nomor 14, supaya mampu mengidentifikasi ada-tidaknya unsur paksaan dalam sebuah kejadian kekerasan seksual yang dilaporkan; dan
c) Sasaran Permendikbudristek 30/2021 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, supaya paham bahwa
setiap orang memiliki hak untuk tidak memenuhi permintaan, menolak, dan/atau menegur pihak-pihak yang membuatnya merasa tidak aman dan nyaman
Permendikbudristek 30/2021 memperjelas situasi ketika korban kekerasan seksual yang pada umumnya terdiam saat kejadian berlangsung/tidak mampu berkata-kata/tidak mampu melawan. Pasal 5 ayat 3 memberi panduan bagi satgas untuk memeriksa apakah Korban memenuhi salah satu atau beberapa kondisi sebagai berikut saat kejadian kekerasan seksual terjadi:
a. belum berusia 18 tahun;
b. diancam, dipaksa, dan/atau berhadapan dengan pelaku yang memiliki kewenangan, jabatan, atau
c. kedudukan lebih tinggi dari korban;
d. berada di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
e. sedang sakit, tidak sadar, atau tertidur;
f. rentan secara fisik dan/atau psikologis;
g. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
h. mengalami kondisi terguncang (shock).
Indonesia yang menganut tradisi civil law (Eropa Kontinental) bekerja dengan prinsip “everything that is not permitted is prohibited”. Artinya, segala tindakan yang dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak atau lebih tidak serta merta diperbolehkan oleh Permendikbudristek 30/2021. Tindakan diluar ruang lingkup peraturan ini sebenarnya telah ada dalam norma-norma yang telah diatur oleh Perguruan Tinggi dalam bentuk kode etik ataupun peraturan lainnya, maupun dalam norma sosial dan norma agama yang bekerja
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, ASWGI, yang terlibat aktif sejak awal proses pembentukan dan sosialisasi Permendikbud-
Ristek (PPKS), dan berhadapan langsung dengan kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi-nya, menyatakan:
1. PermendikbudRistek PPKS merupakan jawaban komprehensif yang menunjukkan kehadiran Pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual telah melalui proses yang mendengarkan/memperhitungkan suara akademisi.
2. PermendikbudRistek PPKS menggunakan paradigma baru yaitu paradigma kritis yang berorientasi pada pencegahan keberulangan, penanganan dan pemulihan dengan berbasis pemenuhan hak-hak korban, serta pencegahan dan penanggulangan keberulangan melalui rehabilitasi pelaku, termasuk pelaku penyerta. 3. Mengharapkan Mahkamah Agung tidak mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 5 ayat (2) huruf “b”, “f”, “g”, “j”, “l”, dan “m” PermendikbudRistek 30/2021 yang sangat krusial. Paradigma PermendikbudRistek PPKS, mendorong terjadinya transformasi ekosistem Perguruan Tinggi ke arah penguatan ekosistem untuk mencapai Merdeka Belajar Kampus Merdeka dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Dalam kasus salah satu pihak berada dalam posisi yang lebih tidak berdaya,
maka konsep persetujuan dapat dilampaui dan menjadi elemen yang melekat pada perbuatan tersebut. Hal ini sebagai wujud keadilan atas karakter khusus dari kasus yang meletakkan kerentanan dan situasi rentan pada pihak tertentu (korban).
4. Mendukung implementasi PermendikbudRistek PPKS dengan menggunakan potensi yang ada di PT secara optimal, agar KS yang terjadi di PT dapat direspon dengan cepat dan tepat guna berkembangnya kultur kelembagaan yang kondusif untuk berjalannya proses pendidikan yang menghargai martabat manusia sebagai mahluk ciptaanNya yang merdeka, kreatif, bermartabat dan nir kekerasan.
Demikian release ini kami sampaikan untuk mempertegas kebutuhan atas PermendikbudRistek PPKS dan urgensi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Arianti Ina R. Hunga (Dosen UKSW/Sekretaris Umum ASWGI)
Baca Juga : Kolaborasi Jadi Salah Satu Kunci Menjadi Peneliti Kelas Dunia
Discussion about this post