Kemunculan video viral kembali menghebohkan warganet, menampilkan seorang wanita yang marah-marah kepada kasir minimarket lantaran susu UHT yang dibeli tidak dalam kondisi dingin.
Di video itu, si wanita memegang susu UHT 1 liter sambil berteriak dan meminta uang pembelian dikembalikan. Bahkan, biaya ongkos kirim ojek online-nya juga minta dikembalikan.
“Kalau nggak dingin saya minta uang kembali. Susu itu harusnya dingin, karena saya ada order susu yang kecil itu dikasih dingin. Saya nggak peduli dan saya udah telat,” ucap si wanita dalam video yang beredar pada Selasa (9/7/2024).
Melihat unggahan tersebut, tak sedikit warganet ikut tersulut emosi karena merasa tindakan si wanita sudah melewati batas wajar. Sebagian dari mereka sengaja meninggalkan komentar pedas, sisanya membanyol dan menyarankan si wanita untuk menyimpan susu UHT-nya di lemari es rumah daripada mengamuk tak jelas.
“Susu UHT satu liter mana ada yang masuk chiller mbak di minimarket. FYI ya.”
“Yang dia pegang itu UHT satu liter yang emang biasa di rak, yang harus dikulkasin itu pasteurisasi yang mulia ratu.”
“Tinggal didinginin di rumah buk.”
Tulis beberapa akun Instagram di kolom komentar unggahan @lambe_turah.
Apa itu Susu UHT dan Kandungan Gizinya?
Dosen dan Kepala Laboratorium Dasar Ilmu Gizi UMS, Fitriana Mustikaningrum, Ph.D. menjelaskan susu UHT (Ultra High Temperature) adalah jenis susu yang dimasak dengan cara dipanaskan pada suhu tinggi dengan waktu sangat singkat. Proses pemanasan ini dilakukan untuk menjamin kesterilan susu sehingga aman disimpan pada suhu ruang.
“Sebelum dipasarkan, susu UHT melewati proses sterilisasi dengan menggunakan metode termal (proses pengawetan makanan dengan memanfaatkan energi panas). Suhu yang diatur biasanya mencapai 135-145 derajat Celcius selama dua hingga tiga detik saja,” terangnya.
Proses pemanasan susu UHT juga berfungsi untuk menjaga kandungan gizi termasuk protein, lemak, karbohidrat, vitamin (A, D, B2, B12), dan mineral (kalsium, fosfor, magnesium, zink, selenium). Dengan menjaga proses pemanasan yang cepat dan tepat, susu UHT mampu mempertahankan nilai gizinya tanpa mengurangi kualitas dan keamanannya.
“Memang benar, ada beberapa nutrien yang tidak tahan suhu tinggi, maka dari itu pemanasan atau sterilisasi hanya dilakukan dalam dua sampai tiga detik saja. Hal ini bertujuan untuk mencegah penurunan kandungan gizi pada susu UHT,” jelas dosen ilmu gizi itu.
Alasan Susu UHT Tak Perlu Masuk Chiller
Pada dasarnya proses pemanasan susu UHT dengan suhu tinggi berguna untuk mematikan sel vegetatif bakteri dan sebagian besar mikroorganisme berbahaya yang ada pada susu. Hal inilah yang membuat susu UHT memiliki umur simpan (rentang waktu yang dimiliki suatu produk mulai dari produksi hingga konsumsi sebelum produk mengalami penurunan kualitas atau rusak) yang lebih panjang.
“Itu kenapa susu UHT masuk kategori susu steril, sehingga ya aman-aman saja ketika di simpan pada suhu ruang. Hanya saja konsumen tetap harus tetap memperhatikan tanda-tanda susu UHT yang sekiranya sudah tidak layak konsumsi,” ujarnya memperingatkan.
Dilansir Halodoc, jika dibandingkan susu pasteurisasi, susu UHT lebih steril karena melewati pengolahan dengan suhu tinggi dengan waktu singkat. Sementara susu pasteurisasi dimasak pada suhu 72-85 derajat Celcius selama 10-15 detik.
Metode pasteurisasi tidak bisa membunuh semua mikroorganisme dalam susu, sehingga beberapa bakteri masih tertinggal. Namun, bakteri tersebut bukan jenis bakteri penyebab penyakit berbahaya.
“Untuk mencegah bakteri berkembang biak, maka susu pasteurisasi harus disimpan dalam suhu yang dingin. Susu pasteurisasi perlu didinginkan pada suhu 2-6 derajat Celcius,” kata Fitriana.
Di samping itu, susu UHT yang beredar di pasaran telah menggunakan kemasan aseptik multilapis, guna menjamin keamanan dan daya tahan susu (kemampuan bertahan terhadap segala pengaruh dari luar yang dapat merugikan, bebas dari kelembaban dan oksigen).
“Kalau kita ke minimarket, susu-susu UHT yang ditemui itu rata-rata sudah pakai tetra pak atau pengemasan aseptik,” imbuhnya.

Susu UHT yang masih tersegel dapat disimpan pada suhu ruang dan memiliki umur simpan yang panjang, yakni sekitar enam hingga delapan bulan tergantung pada produsen. Sedangkan, susu UHT yang sudah dibuka memiliki umur simpan yang lebih cepat. Jika konsumen meletakkan susu pada suhu ruang, maka ia harus segera menghabiskannya segera. Namun, jika konsumen menyimpan susu UHT di chiller atau lemari pendingin, maka susu dapat bertahan selama tiga hingga lima hari.
Tanda Susu UHT Tak Layak Konsumsi
Dosen Ilmu Gizi dan Peneliti Pusat Studi Halal UMS, Aan Sofyan, M.Pd., M.Sc. turut menjelaskan susu UHT yang disimpan pada suhu ruang dapat mengalami kerusakan, baik kerusakan nutrisi maupun mikrobiologis.
“Kerusakan nutrisi dan mikrobiologis bisa terjadi karena kerusakan kemasan. Jika kemasan rusak atau tidak utuh, bakteri dari luar akan masuk dan mengontaminasi susu. Bakteri dengan mudah berkembang biak dan merusak nutrisi yang ada di dalam susu. Nah, kondisi seperti inilah yang bisa membuat susu jadi tengik atau basi,” paparnya.
Pakar mikrobiologi pangan UMS itu juga mengingatkan konsumen untuk lebih teliti dalam membeli susu UHT di minimarket. Pasalnya, beberapa orang cenderung acuh dan asal ambil tanpa melihat tanggal kadaluarsa.
“Konsumen wajib teliti! Karena tanggal kadaluarsa itu informasi penting yang menunjukkan batas waktu aman untuk kita mengonsumsi produk tersebut. Kalau sudah lewat tanggal kadaluarsa, susu UHT pasti mengalami penurunan kualitas dan ada risiko kontaminasi, sehingga berpotensi membahayakan kesehatan,” tegas Aan.
Literasi Keamanan Pangan
Dari kasus susu UHT yang viral ini, Aan menangkap bahwa literasi terkait dengan keamanan pangan masyarakat masih kurang. Namun di sisi lain, ia mengacungi jempol akan kesadaran masyarakat untuk mendapatkan pangan (susu) yang aman mulai meningkat. Hal ini terbukti bahwa konsumen mulai peduli dengan jenis pangan maupun penanganan pasca produksi.
“Masyarakat masih perlu banyak literasi. Ketika masyarakat sudah memiliki pemahaman yang baik tentang keamanan pangan, mereka akan lebih bijak dalam memilih, menyimpan, dan mengonsumsi produk pangan, sehingga risiko kesehatan dapat ditekan,” saran Aan.
Menurutnya, media massa memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi yang akurat dan edukatif tentang keamanan pangan. Pemberitaan yang mendalam dan program-program edukatif di televisi, radio, maupun media sosial dapat membantu meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai cara-cara menyimpan dan mengonsumsi produk pangan dengan benar.
Ia berpendapat bahwa pemerintah, melalui dinas kesehatan dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) harus lebih aktif dalam melakukan kampanye dan penyuluhan keamanan pangan.
Di sisi lain, institusi pendidikan, terutama perguruan tinggi, juga memiliki peran strategis. Program-program berbasis pengabdian masyarakat dapat difokuskan pada edukasi tentang keamanan pangan.
“Mahasiswa dari berbagai jurusan, terutama jurusan terkait pangan dan kesehatan seperti mahasiswa Ilmu Gizi bisa dilibatkan. Melalui program pengabdian masyarakat, mahasiswa bisa langsung terjun ke lapangan untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan tentang cara-cara menyimpan dan mengonsumsi pangan yang aman,” kata dosen Ilmu Gizi UMS itu.
Namun yang tak kalah penting, lanjutnya, kesadaran konsumen itu sendiri. Bagaimana konsumen bisa mengambil peran aktif dalam memastikan keamanan pangan yang mereka konsumsi.
“Jadilah konsumen yang cerdas, dan teliti sebelum membeli!,” tegasnya mengakhiri.
Penulis: Genis Dwi Gustati
Editor: Al Habiib Josy Asheva
Sumber : Universitas Muhammadiyah Surakarta
Discussion about this post