Sampai tahun 2021, International Diabetes Federation (IDF) mencatat sebanyak 19,5 juta penduduk Indonesia berusia 20-79 tahun menderita diabetes. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara di urutan kelima dengan penderita diabetes terbanyak di dunia.
Diabetes adalah penyakit yang disebabkan tingginya kadar glukosa dalam darah. Mengutip Alodokter, kadar glukosa dalam darah dikendalikan oleh hormon insulin yang dihasilkan pankreas. Namun, organ pankreas dalam tubuh penderita diabetes tidak mampu memproduksi insulin sesuai kebutuhan tubuh.
Maraknya kasus diabetes di Indonesia membuat sebagian ahli farmasi di Indonesia meneliti obat-obatan untuk membantu mengontrol kadar glukosa dalam darah, tak terkecuali peneliti obat-obatan herbal Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr. Haryoto, M.Sc.
Riset Haryoto, yang berjudul “Effect of Ethanol Extract of Sala (Cynometra ramiflora Linn.) Leaves for Reducing Blood Glucose Levels in Male Wistar Rats Induced by Alloxan” terbit di jurnal Research Journal of Pharmacy and Technology edisi November 2023, mencoba meneliti efek pemberian etanol daun tumbuhan sala (Cynometra ramiflora Linn.) terhadap penurunan kadar glukosa dalam tubuh.
Dahulu, alun-alun utara dan selatan di area Keraton Surakarta Hadiningrat banyak terdapat tumbuhan sala sekitar abad 16. “Tumbuhan sala diklasifikasikan ke dalam mangrove yang banyak tumbuh di rawa-rawa,” ujar Haryoto di Fakultas Farmasi UMS, Sabtu (27/7/2024).
Nama “Sala” menjadi cikal bakal penyebutan Desa Sala, yang lambat laun berubah menjadi Kota Solo. Kini, pohon sala dapat ditemukan di berbagai titik di Kota Solo, seperti Masjid Raya Sheikh Zayed, Rumah Dinas Wali Kota Surakarta, hingga kompleks Siti Hinggil Keraton Kasunanan Surakarta.
Haryoto mengatakan selama ini tumbuhan Sala hanya dimanfaatkan sebagai jamu. Buah pohon sala direbus, lalu diminum airnya. Haryoto mengatakan minuman buah sala tersedia dalam wadah kecil siap minum. “Dijualnya di lingkungan keraton. Harganya sekitar Rp3 ribu kalau tidak salah,” terang Doktor Kimia Bahan Alam Institut Teknologi Bandung itu.
Dr. Haryoto, M.Sc. di Laboratorium Farmasi UMS, Sabtu (27/7/2024). Humas/Imam Safii
Uji Etanol
Tanaman sala yang digunakan Haryoto dalam risetnya berasal dari pohon yang tumbuh di pekarangan Siti Hinggil Keraton Kasunanan Surakarta. Kesakralan pohon berusia ratusan tahun itu membuat Haryoto sempat terkendala perizinan pengambilan sampel. “Berkat bantuan rekan saya sebagai mediator dengan Gusti Puger, akhirnya saya bisa mengambil sampel untuk diuji,” ujar anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia itu. “Yang penting jangan dirusak pohonnya.”
Setelah berhasil mendapatkan bahan uji, Haryoto membawa sampelnya ke Laboratorium Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi UMS. Daun tumbuhan sala yang telah dikeringkan dalam oven dengan suhu 40 derajat Celsius, kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk.
Serbuk tersebut kemudian direndam selama 24 jam dalam larutan etanol untuk melarutkan senyawa-senyawa dalam daun sala. “Etanol dipilih karena murah dan universal. Bisa dikonsumsi dalam tubuh,” jelas dosen Farmasi UMS itu. Campuran serbuk daun sala dengan etanol kemudian disaring dan dilakukan berulang hingga tiga kali. Cairan tersebut kemudian dikeringkan menggunakan evaporator sampai berbentuk seperti ekstrak pekat dan siap diuji ke dalam tikus galur wistar.
Haryoto membagi cairannya menjadi tiga ukuran sampel, masing-masing 250 miligram, 500 miligram, dan 1.000 miligram. Dia juga memberi aloksan pada tikus galur wistar untuk meningkatkan kadar gula dalam darah mencapai 217,8 miligram per desiliter hingga 222,4 miligram per desiliter.
Cairan ekstrak etanol daun sala kemudian disuntikkan ke dalam tubuh tikus pada kelompok eksperimen dan diamati selama tujuh hingga sepuluh hari. Sebagai pembanding, Haryoto juga menyiapkan kelompok kontrol yang tidak diberi ekstrak etanol daun sala.
Kelompok kontrol negatif disuntikkan Natrium Carboxymethylcellulose untuk menguji daya analgetik tikus. Sedangkan kelompok kontrol positif diberi Glibenklamid, obat antidiabetes tipe II yang berfungsi menurunkan kadar gula dalam darah dengan cara meningkatkan kalsium intraseluler dalam sel beta pankreas sehingga menstimulasi produksi insulin.
Pada hari kesepuluh, tikus yang diberi perlakuan cairan ekstrak etanol daun sala mengalami penurunan kadar glukosa dalam darah. Tikus pertama dengan 250 miligram ekstrak daun sala, mengalami penurunan kadar glukosa dari 222,4 miligram per desiliter menjadi 78,2 miligram per desiliter.
Peralatan yang digunakan Haryoto di dalam laboratorium untuk menguji ekstrak etanol daun sala. Humas/Imam Safii
Tikus kedua dengan 500 miligram ekstrak daun sala, mengalami penurunan kadar glukosa dari 224,6 miligram per desiliter menjadi 82 miligram per desiliter. Sedangkan tikus ketiga dengan 1.000 miligram ekstrak daun sala, mengalami penurunan kadar glukosa dari 217,8 miligram per desiliter menjadi 75,6 miligram per desiliter.
Kelompok tikus yang diberi Natrium Carboxymethylcellulose mengalami penurunan kadar glukosa dari 233,2 miligram per desiliter, menjadi 225,4 miligram per desiliter. Sedangkan kelompok yang diberi Glibenklamid mengalami penurunan kadar glukosa dari 218 miligram per desiliter, menjadi 82,8 miligram per desiliter.
“Pemberian ekstrak daun sala dilakukan setiap hari. Hasilnya mulai terlihat di hari kesepuluh,” terang lulusan Science Education dari Hokkaido University Jepang itu.
Pengujian tersebut menunjukkan penurunan kadar glukosa dalam darah tikus yang diberi ekstrak pohon sala mencapai 144 miligram per desiliter. Berbeda dengan Glibenklamid yang menurunkan kadar glukosa dalam darah sebanyak 135,6 miligram per desiliter.
Kaya Manfaat
Selain menguji kegunaan daun tumbuhan sala untuk menurunkan kadar glukosa dalam tubuh, Haryoto juga melakukan serangkaian riset untuk menguji kandungan dan manfaat senyawa dalam daun tumbuhan sala. Hasilnya, tanaman sala mengandung antioksidan dan antibakteri. “Saya juga pernah menguji efek daun sala terhadap sel kanker, meskipun hasilnya kurang signifikan,” tutur dia.
Riset tersebut membawa angin segar bagi pengobatan penyakit diabetes. Namun jalan panjang mewujudkan obat diabetes herbal masih membentang luas. Haryoto harus menguji temuannya itu dalam beberapa tahapan.
Peneliti Pusat Studi Halal UMS dan Pusat Standardisasi Ekstrak Farmasi (SEFA) UMS itu pernah mendiskusikan risetnya dengan salah seorang dokter di Universitas Brawijaya, Malang. Sang dokter menyambut positif temuannya. “Kata dokternya bisa saja riset saya dijadikan obat. Tapi harus melakukan 11 kali pengujian,” ungkapnya sambil tertawa.
Haryoto menjelaskan, jika ingin melanjutkan pengujian ekstrak etanol daun sala, dirinya harus menguji ekstrak tersebut pada mencit, tikus, hingga kelinci sebelum akhirnya diuji pada manusia.
Adapun sampel ekstrak tanaman sala tersebut masih membutuhkan rangkaian pengujian lainnya. Ekstrak tersebut harus diolah menjadi fraksi, lalu diubah menjadi isolat sebelum akhirnya menghasilkan pure compound. “Nah, kalau pure compound nanti bisa diketahui senyawa apa yang menurunkan kadar glukosa dalam darah,” imbuh pria asal Boyolali itu.
Riset Haryoto menjadi ikhtiar untuk memberi kontribusi bagi dunia medis seputar diabetes. Dia mengaku prihatin dengan maraknya generasi muda yang mengalami diabetes. Haryoto sendiri sudah berkomitmen menjaga pola makan dan berolahraga. “Saya minimal jalan kaki 30 menit setiap hari,” pungkasnya.
Penulis: Gede Arga Adrian
Editor: Al Habiib Josy Asheva
Desainer: Salsabila Kamila Wardah
Sumber : Universitas Muhammadiyah Surakarta
Discussion about this post