Berangkat dari keresahan pribadi terhadap limbah industri yang kian menggunung tanpa pemanfaatan yang berarti, dua mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Adin Nur Rohman (Teknik Industri) dan Arief Surya Adhi (Akuntansi) merancang sistem pengolahan limbah yang diganjar medali perak dalam ajang Japan Design, Idea, and Invention Expo (JDIE) 2024, yang bertempat di Tokyo Ariake Garden Convention Center pada 6-7 Juli lalu.
Japan Design, Idea, and Invention Expo merupakan kompetisi yang dihelat oleh World Invention Intellectual Property Associations (WIIPA) dan Chizal Corporation. Kompetisi bergengsi ini menjadi ruang temu antara penemu atau inovator dari berbagai penjuru dunia untuk memamerkan karya briliannya (desain, mockup, prototype, produk siap komersil) di hadapan para investor global. Dalam perhelatannya sendiri, JDIE diikuti oleh 343 tim dari 25 negara di seluruh dunia.
Kedua asosiasi ternama tersebut juga bekerja sama dengan Indonesian Invention and Innovation Promotion Association (INNOPA) dalam proses seleksi. Tim yang terpilih akan maju mewakili Indonesia ke ajang JDIE negeri sakura itu.
Arief (kiri) dan Adin (Kanan) memperoleh medali perak dalam ajang Japan Design, Idea, and Invention Expo 2024, Tokyo (7/7/2024). dok.pribadi
Dalam wawancaranya bersama kami, Adin menyebut inovasinya bersama Arief diberi tajuk “Smart Green Industry Renewable Energy: Processing Industrial Waste into Renewable and Environmentally Friendly Energy Based on the Internet of Things (IoT) in Support of Zero Emissions”.
Menurut pandangan Adin, masalah limbah industri di Indonesia merupakan isu yang memerlukan perhatian serius.
“Banjirnya limbah industri di Indonesia mengusik kesadaran kami. Sering kali, beberapa pabrik industri hanya sekadar menampung limbah, tanpa memberikan nilai tambah bagi lingkungan,” kata Adin.
Adin melihat potensi limbah industri sebagai sumber daya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Limbah, menurutnya, seharusnya dapat menjadi bahan baku untuk produk baru atau sumber energi alternatif jika diolah dengan metode yang tepat.
Inovasi Berbasis IoT
Tim SGIRE Waste Tank UMS yang dinakhodai Adin mengusung ide untuk memanfaatkan limbah industri sebagai sumber energi terbarukan berbasis IoT.
“Kami mendesain kawasan pabrik pengolahan limbah dengan prinsip zero emissions dan zero waste berbasis IoT. Meski masih berupa prototipe, kami benar-benar memperhitungkan tiap elemen di dalamnya,” jelas Adin.
Desain mereka merupakan model tiga dimensi yang menggambarkan kawasan industri hijau yang terstruktur, dengan elemen seperti renewable energy building, waste tank area, water clean and hydrogen, electricity power center, dan waste center building. Setiap tangki akan memiliki peran dalam menghasilkan energi terbarukan berupa biogas, biodiesel, biofuel, dan lain-lain.
“Ada semacam sistem monitoring limbah dari pemanfaatan teknologi IoT. Dengan sistem ini, petugas akan lebih mudah mengetahui kapasitas limbah yang sudah ditampung dalam tangki, sekaligus memantau seberapa jauh limbah sudah diolah,” sambung mahasiswa kelahiran Solo itu.
Sistem monitoring akan memberikan notifikasi atau sinyal kepada petugas jika limbah sudah sepenuhnya diolah, memastikan proses pengolahan berjalan lancar tanpa perlu pengawasan manual yang intens.
Desain juga mencakup tangki-tangki besar yang saling terhubung untuk proses penyaringan dan pengolahan limbah menjadi energi terbarukan. Sistem yang didesain demikian akan ditempatkan di kawasan pabrik, dengan semua tangki yang terintegrasi melalui pipa logam dan kompresor bertekanan.
Desain tiga dimensi SGIRE yang diusung Adin dan Arief.
“Masing-masing tangki punya fungsi khusus. Keseluruhan prosesnya pun didukung dengan panel surya yang dipasang di atap pabrik sebagai energi listrik tambahan. Apabila terdapat sisa konversi berupa air dan hydrogen, air itu akan melewati proses sterilisasi sehingga layak konsumsi,” jelas Adin runtut.
Fungsi Masing-masing Tangki
- Tangki hijau berfungsi sebagai pengolah limbah padat menjadi cair dan akan disalurkan ke tangki kuning
- Tangki kuning berfungsi untuk mengonversi benda cair menjadi energi terbarukan (dapat berupa: energi biodiesel, biogas, dan bahan bakar lainnya)
- Tangki merah berfungsi untuk mengolah limbah beracun yang tidak bisa diproses pada tangki sebelumnya
- Tangki biru berfungsi untuk menyimpan hasil energi yang dihasilkan pada proses sebelumnya
Desain yang diusung Adin dan Arief tersebut tak hanya efektif diterapkan untuk pabrik yang menghasilkan limbah padat, tetapi juga pabrik yang menghasilkan limbah cair. Mereka mengintegrasikan konsep desain tersebut dengan sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), yang memungkinkan limbah cair diolah secara optimal sebelum diproses lebih lanjut menjadi energi terbarukan.
“Cocok diterapkan pada semua industri manufaktur yang segala jenis limbahnya (cair, padat) sudah tidak dapat digunakan lagi atau sulit diolah,” imbuh Arief mempertegas keunggulan SGIRE.
Arief juga menjelaskan rentang waktu yang ia dan Adin butuhkan untuk mendapuk SGIRE berlangsung selama 10 bulan.
“Dari awal mencetusan ide sampai pembuatan model desain berkisar di bulan Oktober 2023 hingga Juli 2024,” jelas mahasiswa Akuntansi UMS itu.
Tantangan Realisasi
Disinggung mengenai realisasi proyek, keduanya kompak menyebut dukungan dari pihak eksternal sangatlah krusial, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan kontraktor swasta lainnya guna mendukung pendanaan dan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan.
“Proyek ini jika direalisasikan akan memerlukan dana hingga triliunan rupiah. Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi terbarukan, tapi kita perlu dukungan yang kuat untuk bersaing dengan dominasi energi fosil,” jelas Arief.
Beberapa negara maju di Eropa dan Amerika telah berhasil menerapkan sistem pengelolaan limbah dengan baik, sementara Indonesia masih berada pada tahap awal implementasi.
Dominasi penggunaan energi yang tidak terbarukan seperti Batubara menjadi tantangan tersendiri bagi laju perkembangan energi terbarukan di Tanah Air. Namun, seiring dengan upaya pemerintah yang mulai bergerak untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060, ada harapan bahwa inovasi seperti yang digagas oleh Adin dan Arief akan dilirik.
“Perakitan desain sebagian kami lakukan di Indonesia, kalau finalisasi dilakukan di Jepang. Sebelumnya, inovasi ini pernah kami unjuk juga pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-36 2023 di Universitas Padjadjaran, Jatinangor,” sambung Adin menambahi.
Meski tak menyabet medali PIMNAS ke-36, Adin dan rekan timnya tetap bersyukur karena berkesempatan menjadi presenter untuk mengenalkan inovasi yang didapuk. Sekalian menggaungkan energi berkelanjutan di Indonesia, pikirnya kala itu.
Medali perak sudah di tangan, langkah selanjutnya bagi Adin dan Arief ialah menyempurnakan inovasi mereka agar siap diterapkan dalam skala industri.
“Kami ingin mencari mitra industri dan investor yang dapat membantu merealisasikan ide ini. Dengan melanjutkan penelitian dan mengajukan proposal ke berbagai lembaga untuk mendapatkan pendanaan tambahan dan bimbingan teknis,” ungkap Adin.
Keduanya berharap dapat mempresentasikan SGIRE dalam forum-forum akademis dan industri. Tepatnya untuk menarik perhatian lebih banyak pihak yang tertarik dengan solusi energi berkelanjutan, sekaligus mengupayakan agar inovasi mereka dapat diterima dan diadopsi secara luas oleh masyarakat.
“Selain mencari mitra, kami akan terus mengevaluasi SGIRE. Utamanya dalam mempersingkat sistem yang kompleks sehingga dapat memangkas anggaran untuk merealisasikannya, namun tetap mempertahankan hasil pengolahan limbah yang berkualitas,” ujar Arief dengan penuh perhitungan.
Model desain SGIRE sendiri tak lepas dari peran penting Raden Danang Aryo Putro Satriyono, S.T., M.T. selaku dosen pembimbing. Ia membenarkan SGIRE masih memiliki kendala dan kekurangan seperti perlunya biaya investasi yang sangat besar, yang kemungkinan akan menghambat realisasi.
“Kalau sudah begitu, tantangannya adalah bagaimana cara meyakinkan industri besar untuk berinvestasi menerapkan sistem SGIRE. Karena pendanaan besar sangat diperlukan untuk survei, perancangan, perizinan, pembangunan, sampai pengujian kelayakan proyek,” tegas dosen Teknik Industri UMS itu yang akrab disapa Danang.
Kendala SGIRE berikutnya terletak pada kompleksitas teknis dalam pengintegrasian sistem IoT dan teknologi pengolah limbah. Ia berpendapat proyek SGIRE tentu memerlukan perawatan intensif dan berkala jika teralisasikan.
“Meskipun prototipe telah dikembangkan, kesiapan dan kematangan proyek masih di tahap awal. Ke depannya perlu pendanaan dari universitas untuk pengembangan lebih lanjut, dan dalam jangka panjang kami juga menyasar pendanaan dari eksternal untuk penerapan secara luas,” tutupnya.
Penulis: Genis Dwi Gustati
Editor: Al Habiib Josy Asheva
Discussion about this post