Dalam hiruk-pikuk aktivitas sehari-hari, praktik utang piutang menjadi hal yang lazim. Tak jarang, kebutuhan mendesak memaksa seseorang untuk menengadahkan tangan, berharap bantuan materi yang mampu meringankan beban. Namun, acap kali masalah justru timbul dari aktivitas utang piutang, hingga menciptakan kerumitan emosional dan sosial.
Ada yang menagih tanpa mengenal waktu, mengabaikan kondisi si peminjam. Di sisi lain, tak jarang pula kita mendengar cerita mengenai seseorang yang melarikan diri dari tanggung jawab, menghilang di tengah-tengah janji pembayaran. Mungkin istilah “utang jangan dibawa mati” sampai familier di telinga kita.
Menyikapi isu sosial kemasyarakatan tersebut, Azhar Alam, S.E., M.S.E.I., Lc., pakar hukum ekonomi Islam dan industri halal Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyatakan etika dalam mengelola utang piutang, baik dari sisi pemberi maupun penerima, tak sekadar urusan finansial, namun menyangkut amanah yang memiliki bobot moral dan spiritual.
“Islam sangatlah memperhatikan tata cara utang piutang. Ini menjadi ibadah sosial yang harus dijalani dengan adab yang benar,” tegas dosen Hukum Ekonomi Syariah UMS itu.
“Jika kita punya niat baik menolong, maka harus ada ketulusan untuk membantu, bukan malah menjadikan utang sebagai alat untuk menekan seseorang dalam keadaan terdesak. Orang yang berutang itu biasanya sudah di posisi terdesak dan terpaksa kan?,” imbuhnya.
Berdasarkan penjabaran Azhar, utang piutang dalam kacamata agama Islam memang terikat oleh akad yang sah dan niat yang lurus. Baik peminjam maupun penagih dituntut untuk mematuhi etika yang membawa kemaslahatan, bukan keretakan hubungan.
Tak lupa, dosen Fakultas Agama Islam UMS itu menambahkan setidaknya terdapat dua jenis utang piutang dalam Islam. Pertama, utang sosial yang biasanya diberikan antarindividu tanpa adanya ikatan dengan bank atau perantara lainnya. Kedua, utang bisnis yang terikat regulasi perbankan atau lembaga keuangan lain.
Agama Islam sendiri memandang proses utang piutang sebagai bentuk ibadah sosial, yang menuntut adanya tanggung jawab, saling percaya, dan adab baik di antara kedua belah pihak. Urusan utang dijelaskan secara rinci agar tak menimbulkan keretakan sosial. “Itulah mengapa Islam sangat menjunjung tinggi etika untuk menjaga harmoni antarsesama,” ujar Azhar.
Inti dari hubungan utang piutang adalah kepercayaan dan kejujuran, bukan ancaman atau intimidasi. Dalam praktiknya, menagih utang dalam perspektif Islam memiliki kaidah-kaidah yang tetap, seperti kesabaran dalam memberi tenggang waktu dan mempertimbangkan kemampuan dari si peminjam.
Prinsip dasar utang piutang dalam Islam mewajibkan adanya akad yang sah dan saling rida antara pihak yang meminjamkan dan pihak yang meminjam. Selain mengandung tanggung jawab finansial, akad dalam utang piutang mengandung tanggung jawab moral.
“Islam mengatur akad ini guna menjamin keterbukaan dan kejujuran dari kedua belah pihak,” kata Azhar. Ia juga mengatakan dalam Islam, akad utang piutang tak boleh mengandung unsur riba dan harus dilandasi dengan niat membantu dan memberikan keringanan.
Etika Pemberi Utang
Di dalam ajaran agama Islam, urusan utang piutang tak selalu mengharuskan adanya jaminan dari pihak peminjam. Azhar menekankan prinsip kepercayaan telah menjadi dasar penting.
Jaminan atau agunan, meskipun kadang diperlukan, bukanlah syarat utama dalam urusan utang piutang. Katanya, “Jika penagih terlalu mengandalkan jaminan, niat membantu biasanya menjadi terkesampingkan.” Dengan ini, Islam begitu mengagungkan hubungan berbasis kepercayaan dan mempertimbangkan kemampuan si peminjam dalam melunasi utangnya.
Memberikan utang pada kerabat atau teman tanpa perjanjian resmi juga memerlukan sikap kehati-hatian. Azhar menyarankan supaya sebelum memberikan utang, pemberi sebaiknya mempertimbangkan kemampuan finansial mereka serta menyadari risiko yang bisa terjadi.
“Jika kita siap meminjamkan uang, kita juga harus siap mengikhlaskan jika terjadi masalah pembayaran. Kalau dalam ilmu perbankan, ada istilah 5C, yaitu menyangkut character (karakter), capacity (kapasitas keuangan), capital (modal), conditions (kondisi), dan collateral (agunan),” tambah Azhar. Namun jika jenis utangnya merupakan utang sosial, maka cukup bagi si pemberi utang untuk melakukan pengenalan karakter dan kondisi.
“Misalkan kepada kerabat atau teman dekat, kita pasti bisa mengira-ngira, berapa yang akan kita pinjamkan dan mengenali risiko uang dikembalikan atau tidak,” ucapnya.
Selain itu, kita sebagai pemberi utang pun harus memiliki adab yang baik. Pertama, niat baik untuk membantu tanpa pamrih. “Nulung dudu menthung,” kata Azhar, mengutip pepatah Jawa yang berarti membantu bukan untuk memukul menzalimi.
Kedua, pemberi utang disarankan memiliki sifat toleransi dengan memberi kelonggaran waktu bagi peminjam yang mengalami kesulitan dalam pengembalian. Dalam situasi sulit, Islam bahkan menganjurkan pemberi utang untuk mengikhlaskan sebagian atau seluruh utang sebagai bentuk kebaikan. Sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan jika [orang yang berutang itu] dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan [sebagian atau semua utang] itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qur’an Surah Al Baqarah [2]: 280)
Begitu pula dalam beberapa hadis disebutkan perihal keutamaan orang-orang yang memberikan kelonggaran tenggang waktu bagi orang yang sulit melunasi utang. Salah satunya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ
“Barangsiapa memberi tenggang waktu bagi orang yang berada dalam kesulitan untuk melunasi hutang atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapat naungan Allah.” (Hadis Riwayat Muslim)
Etika Pengutang
Islam menuntut setiap peminjam agar tak memperlambat pelunasan dan menjaga amanah yang diberikan. Niat baik untuk melunasi menjadi poin utama. Selain itu, peminjam juga diingatkan untuk selalu berdoa kepada Allah agar diberikan kelapangan rezeki agar utang dapat segera dilunasi.
“Hal ini menjadi bukti bahwa dalam ajaran agama Islam, utang menyoal tentang cara kita dalam menjaga integritas diri,” jelas Azhar.
Ingin melunasi utang tapi tidak punya uang adalah masalah yang kerap dihadapi sebagian peminjam. Dalam Islam, jika seseorang memang tak mampu membayar, mereka dianjurkan untuk menyampaikan kesulitannya kepada pihak pemberi utang. Kejujuran dan niat baik menjadi modal utama bagi peminjam agar tetap dipercaya dan mendapatkan kelonggaran waktu pelunasan.
“Intinya kita jangan sampai menyepelekan utang. Mungkin saya sampaikan juga, bahwa ada satu kisah Rasulullah, yang mana beliau enggan menyalatkan jenazah yang belum melunasi utang di semasa hidupnya. Semoga itu menjadi pelajaran penting bagi kita semua, ya,” ujarnya mengingatkan agar umat Islam selalu menjaga amanah dalam setiap perjanjian utang piutang.
Dilansir Muslim.or.id, tertulis bahwasanya Rasulullah SAW pernah enggan menyalatkan jenazah, karena dia mempunyai utang yang belum sempat dibayar kala masih hidup. Sebagaimana diceritakan Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:
أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أُتِيَ بجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقالَ: هلْ عليه مِن دَيْنٍ؟، قالوا: لَا، فَصَلَّى عليه، ثُمَّ أُتِيَ بجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقالَ: هلْ عليه مِن دَيْنٍ؟، قالوا: نَعَمْ، قالَ: صَلُّوا علَى صَاحِبِكُمْ، قالَ: أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يا رَسولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عليه.
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam didatangkan kepadanya jenazah untuk disalatkan, maka Nabi bertanya, “Apakah dia memiliki utang?.” Mereka mengatakan, “Tidak.” Maka, Nabi pun menyalatkannya. Lalu, didatangkan jenazah yang lain, maka Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bertanya kembali, “Apakah ia memiliki utang?.” Mereka mengatakan, “Ya.” Nabi berkata, “Salatkanlah saudara kalian.” Abu Qatadah berkata, “Aku yang menanggung utangnya, wahai Rasulullah.” Maka, Nabi pun menyalatkannya.” (Hadis Riwayat Bukhari)
Hukum menagih utang dalam Islam menegaskan bahwa pengembalian utang adalah kewajiban mutlak, karena kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Namun perlu dingat kembali, penagih tetap harus mengutamakan pendekatan yang baik dan menghindari tindakan yang dapat merusak hubungan.
Sudah selayaknya bagi kita umat muslim menahan diri dari berutang. Apabila kondisi telah mendesak kita untuk berutang, maka berutanglah sebatas kebutuhan primer atau sekunder saja, sembari bertekad untuk segera melunasinya. Sebagaimana sabda Rasul di bawah ini:
مَن أخَذَ أمْوالَ النَّاسِ يُرِيدُ أداءَها أدَّى اللَّهُ عنْه، ومَن أخَذَ يُرِيدُ إتْلافَها أتْلَفَهُ اللَّهُ
“Siapa saja yang mengambil harta manusia (berutang) disertai maksud akan melunasinya, maka Allah akan melunasinya untuknya. Sebaliknya, siapa saja yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya dan menggelapkannya serta tidak berniat untuk melunasinya), maka Allah akan merusak orang itu.” (Hadis Riwayat Bukhari)
“Tidak ada salahnya menuntut hak, tapi ingat, lakukan dengan adab, karena Islam mengutamakan pendekatan yang baik. Jangan pula mengutang jika tidak dalam keadaan terdesak, apalagi hanya memenuhi ego dan kebutuhan tersier. Baik pemberi utang maupun pengutang, keduanya harus sama-sama mengutamakan adab,” pungkas Azhar memperingati.
Penulis: Genis Dwi Gustati
Editor: Al Habiib Josy Asheva
Discussion about this post