Pagi itu, seperti biasa, suara ayam joper (jowo super) di Kliwonan, Sragen, saling bersahutan, menciptakan suasana riuh yang menandakan bahwa aktivitas di kandang sudah dimulai. Peternak dengan cekatan memberi pakan, memeriksa suhu brooder, dan memastikan kesehatan ternaknya.
“Selain di kampus, keseharian saya ya ngopeni pitik, Mbak,” tutur Suranto, menggambarkan hiruk-pikuk kandang pitik pagi hari. Ayam joper sendiri merupakan ayam pedaging hasil perbaikan genetik, yang menyilangkan ayam ras betina dengan pejantan ayam kampung.
Siapa sangka, di balik produktivitas itu, ada peran peneliti Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr. Ir. Suranto, S.T., M.M., M.Si.. Ia adalah pelaku usaha di bidang ternak ayam joper yang memanfaatkan keahliannya dalam sistem bisnis. Tak ayal jika namanya cukup dikenal kalangan peternak ayam.
Bukan hanya ayam, Suranto juga merintis pengembangan bisnis integrated farming (pertanian yang berkelanjutan tanpa mengurangi kualitas atau kuantitas produk), seperti ternak nila, lele, kambing, dan lain-lain.
“Tujuan utama saya adalah memberdayakan masyarakat ekonomi lemah, terutama di daerah pedesaan dengan jumlah yang berkisar 20-an peternak. Untuk itu, mereka harus memiliki fondasi yang kuat. Fondasi seperti apa? Ya, semangat untuk berwirausaha,” ujar Suranto mengingat misi penelitiannya saat kami temui di ruangannya.
Dalam pandangan Direktur Sekolah Vokasi UMS itu, pemberdayaan yang paling efektif bukanlah memberi mereka bantuan finansial sesaat, melainkan membangun karakter kewirausahaan yang bisa bertahan dalam jangka panjang.
Suranto menekankan kewirausahaan adalah kunci untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang dapat menanggulangi kemiskinan. Dalam beberapa tahun terakhir, ia telah membina beberapa kelompok peternak ayam di pelbagai kelurahan, khususnya di Sragen dan Karanganyar, dengan pendekatan yang lebih sistematis. Pendampingan yang diberikan mencakup aspek teknis dan mental dengan membangun pola pikir kewirausahaan yang tangguh.
Konsep Pemberdayaan
Ia membangun konsep pemberdayaan yang disebut dengan DEFE (Doing, Empowering, Facilitating, and Evaluating) lewat riset bertajuk “Developing Sustainable Empowerment Model Through Technopreneur Farmers’ Economy Sustainable”. Model tersebut mencakup serangkaian tahapan yang harus dilalui para peternak ayam joper dalam perjalanan usaha mereka.
Pendampingan yang diberikan dimulai dengan tahap doing, di mana perusahaan atau PT mitra membantu peternak untuk mengawali usaha, di bawah koordinasi CV Mukti Kabeh. Sementara dalam tahap empowering, para peternak diberikan pengetahuan dan keterampilan berwirausaha, termasuk dalam konteks pengelolaan pangan dan limbah.
Tahap berikutnya adalah facilitating, yakni memfasilitasi akses peternak terhadap berbagai kebutuhan usaha, seperti bibit ayam (DOC), pakan, obat-obatan, dan teknologi yang lebih efisien. Dengan adanya teknologi yang tepat, peternak dapat mengelola usaha mereka lebih efisien dan mengurangi risiko kerugian.
“Contohnya penggunaan brooder UV, alat pemanas ultraviolet yang lebih efisien daripada metode konvensional menggunakan kayu bakar yang diwadahi tong besar atau penggunaan bohlam kuning per kandangnya,” terang dosen Teknik Industri dan Pendidikan Teknik Informatika UMS itu.
Terakhir, tahap evaluating dilakukan untuk memastikan setiap langkah yang telah diambil peternak dan perusahaan mitra berjalan dengan baik.
Dr. Ir. Suranto, S.T., M.M., M.Si. Humas UMS/Imam Safi’i
Selama menjalankan pemberdayaan, spesifiknya pada tahap empowering, Suranto menemukan fakta menarik di lapangan. Salah satunya adalah tingginya ketergantungan peternak kecil pada pakan komersial, yang harganya kerap merangkak naik. Menyadari hal ini, ia mulai mencari solusi untuk memangkas pengeluaran tersebut.
“Kami akhirnya mencoba mencampur bahan pakan komersial dan nonkomersial sebagai alternatif. Misalnya sisa makanan yang memiliki gizi tinggi, seperti nasi putih yang dapat dikeringkan, tepung roti halus, bekatul, ampas tahu, tepung-tepungan, dan biji-bijian,” kata Suranto.
Menurutnya, bagi peternak pemula yang ingin memangkas biaya operasional, pencampuran bahan pakan nonkomersial sebanyak 15-20 persen dari total pakan komersial bisa menjadi pilihan. Komposisi tersebut dinilainya cocok untuk mereka yang tak ingin sepenuhnya bergantung pada pakan mahal.
Sementara sebagai bagian dari model pemberdayaan berkelanjutan, Suranto mengambil inisiatif untuk mengolah kotoran ayam menjadi pupuk kandang yang bermanfaat dan bernilai ekonomis. Ia berterus terang jika prosesnya tak melibatkan teknik khusus, alias pengolahan pupuk dilakukan dengan cara yang umum diketahui.
“Sejauh yang saya lihat, pupuk kandang ini digunakan sendiri oleh peternak. Apabila hendak mereka jual pun, harga pupuk bisa mencapai sekitar Rp1.000-Rp1.500 per kilo bagi komunitas sendiri. Bisa buat tambah-tambah pemasukan kan?,” terangnya.
Usai merumuskan pemodelan DEFE, konsep “kemitraan plasma” akhirnya dipilih Suranto, tim, dan mitra CV Mukti Kabeh sebagai upaya pengembangan pemberdayaan peternak ayam joper di Sragen. Dia merangkul para plasma (peternak) untuk bergabung dalam skema kemitraan dengan inti plasma (perusahaan peternakan), yang memiliki sumber daya lebih, seperti penyediaan pakan, obat-obatan, dan peralatan peternakan.
Melalui skema kemitraan plasma, peternak diberi akses ke fasilitas-fasilitas yang dapat meningkatkan efisiensi produksi dan kualitas hasil ternak. Kemitraan yang diinisiasi Suranto pun tak hanya memberikan keuntungan secara finansial, tetapi juga membuka kesempatan bagi peternak untuk berinovasi dan memperluas jaringan pasar.
“Jadi kita dampingi mereka, misalkan kelompok A butuh 1000 ekor bibit DOC, kemudian bagaimana pengobatannya, pakannya, dan macam-macam, kita bimbing bersama teman pembantu lapangan. Kebetulan juga bermitra dengan dokter hewan, ahli ternak, sarjana peternakan, untuk diajak membantu pengembangan pemberdayaan ayam joper ini,” kata Suranto.
Dengan kemitraan plasma, persoalan bagaimana cara panennya, nanti penjualannya bagaimana, dan sampai pendistribusian itu teman-teman peternak insya Allah sudah dibekali teknologi dan materi pengelolaan manajerial berkelanjutan dari hulu ke hilir, sehingga peternak sejahtera, penjual tersuplai ayamnya, dan kebutuhan konsumen tercukupi,” ujarnya cermat.
Tak berhenti di situ, Suranto kemudian membentuk asosiasi peternak ayam joper sebagai wadah konsolidasi dan sumbang saran antaranggota. Sebelum bergabung dalam komunitas ini, sebagian besar peternak menjalankan usahanya secara individual, minim kesadaran dan kolaborasi. Banyak peternak yang kurang tanggap dan peduli terhadap kondisi rekan seprofesi, sebab belum ada paguyuban yang bisa menyatukan mereka dalam diskusi dan gagasan cemerlang untuk ketahanan industri pangan.
“Saya menyadari ini cukup lama, terkadang mereka yang pemula seringnya berjalan sendiri-sendiri. Nah, maka saya bentuk juga paguyuban ini agar para peternak dapat memanfaatkan pengalaman kolektif untuk menjalankan usaha dan penguatan kecakapan hidup,” tambahnya.
Pemodelan DEFE untuk Sektor Lain
Selain di sektor peternakan, model DEFE yang dikembangkan Suranto pun sukses diterapkan untuk membangun mental wirausaha mahasiswa. Sejak 2007 hingga 2012, model tersebut mendapat dukungan dana dari Kemendikbudristek melalui skema IPTEK bagi Kewirausahaan. Berlanjut di tahun 2022 hingga 2024, model DEFE kembali didanai LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) dan Kemendikbudristek dalam Program Wirausaha Merdeka.
Suranto juga mengklaim model DEFE berpotensi diterapkan di sektor lain untuk memberdayakan masyarakat lebih luas. “Model DEFE ini bisa diterapkan di sektor lain, seperti pertanian atau perikanan, tinggal menyesuaikan objek dan metodologinya,” ujarnya.
Sambil tersenyum sumringah, ia bercerita kepada kami tentang bisnis peternakannya yang merambah komoditas lain, seperti bebek dan mentok. Melihat prospek pasar yang terus berkembang, ia merasa yakin bahwa diversifikasi usaha akan membantu meningkatkan ketahanan pangan dan memperluas lapangan pekerjaan.
Bahkan, ia telah sukses 13 kali panen bebek dan mentok tanpa mengalami kerugian. “Bebek dan mentok kan punya potensi besar di pasar. Dengan pemodelan yang sama, alhamdulillah setiap panen, kami mendapat keuntungan senilai UMR Solo per bulannya,” katanya berterus terang. Suranto sendiri memulai ternak bebek dan mentok dengan modal 200 bibit.
“Kalau sekarang lagi riset pertanian, khususnya budidaya jamur, baik jamur segar maupun jamur yang langsung di-indent (dipesan terlebih dahulu sebelum dikirimkan oleh pemasok) pemasar,” imbuh Suranto.
Dosen UMS itu telah membuktikan bahwa dengan pendekatan yang tepat, peternak kecil pun bisa berkembang pesat. Dengan menggabungkan teknologi, sistem manajerial yang efisien, dan semangat kewirausahaan, ia berhasil membangun ekosistem peternakan yang berkelanjutan.
Penulis: Genis Dwi Gustati
Editor: Al Habiib Josy Asheva
Desainer: Salsabila Kamila Wardah
Discussion about this post