Kini tak dipungkiri, hampir setiap sudut kota di Indonesia selalu tersedia layanan pesan-antar makanan online. Dari gang sempit hingga kompleks perumahan mewah, aplikasi semacam GoFood, ShopeeFood, hingga GrabFood seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern.
Prosesnya pun sederhana: pilih merchant dan menunya, klik, lalu tunggu beberapa saat sampai makanan datang di depan pintu rumah. Namun di balik kemudahan ini, muncul fenomena yang turut mengundang perhatian, yakni belanja impulsif.
Kalau zaman sekarang, belanja impulsif merupakan kebiasaan yang lahir dari kombinasi kemajuan teknologi, perubahan perilaku, dan dorongan emosional. Fenomena ini mempermudah kita untuk mengakses hampir semua kebutuhan, termasuk membeli makanan dan minuman yang segera disantap. Salah satu penyebabnya ialah penetrasi internet yang semakin masif.
Merujuk data survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tercatat 78,19 persen lebih penduduk Indonesia telah terkoneksi dengan internet. Survei dilakukan selama periode 10- 27 Januari 2023 yang mencakup 38 provinsi di Indonesia dengan total responden sebanyak 8.510.
“Teknologi yang awalnya diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia, ternyata juga membawa tantangan tersendiri,” ujar Nur Rizqi Febriandika, S.Sy., MBA., M.S.E.I., dosen Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dalam penelitiannya berjudul “Impulse buying tendency in online food delivery service among Muslims in Indonesia”, ia mengeksplorasi hubungan antara suasana hati (consumer mood) dan pengendalian diri (self control) yang diprediksi berimbas pada perilaku belanja impulsif di kalangan Muslim Indonesia.

Nur Rizqi Febriandika, S.Sy., MBA., M.S.E.I. Humas UMS/Imam Safi’i
“Banyak yang tidak sadar bahwa keputusan untuk membeli makanan lewat aplikasi online sering kali tidak sepenuhnya rasional. Ada dorongan emosional yang besar di baliknya. Setidaknya ada dua faktor penentu, ya. Pertama, suasana hati. Kedua, pengendalian diri,” imbuh Rizqi. Menurutnya, belanja impulsif merupakan refleksi dari cara masyarakat modern menghadapi emosi, tekanan sosial, dan kecanggihan teknologi.
Dua Faktor Penentu
Direktur Pondok Hajjah Nurriyah Shabran UMS itu menerangkan penggunaan layanan pesan-antar makanan online terkadang memang melibatkan emosi. Ketika seseorang merasa stres atau kacau, memesan makanan dan minuman bisa jadi cara cepat untuk meredakan suasana hati negatif.
“Suasana hati adalah faktor terbesar yang mendorong belanja impulsif,” ungkap Rizqi. Dalam studinya, variabel ini mencatat pengaruh tertinggi terhadap perilaku belanja impulsif, dengan tingkat signifikansi yang sangat kuat.
Suasana hati negatif seperti stres cenderung mendorong pembelian sebagai pelarian. Sementara, suasana hati positif seperti kebahagiaan juga memicu perilaku impulsif, terutama dalam bentuk perayaan kecil.
“Misalkan lolos beasiswa, mungkin bahasa bekennya kita wajar ngasih ‘self reward’ pada diri sendiri. Ini biasanya muncul dalam bentuk pembelian makanan yang tidak direncanakan, mungkin karena terlihat menarik atau sedang diskon juga,” jelasnya teliti.
Jika suasana hati menjadi pendorong, pengendalian diri atau self control menjadi rem yang menahan dorongan impulsif. Penelitian Rizqi mencatat semakin tinggi tingkat pengendalian diri, semakin kecil kemungkinan seseorang untuk membeli secara impulsif.
Dalam agama Islam, nilai religiositas menjadi salah satu pilar yang memperkuat pengendalian diri. Islam menekankan pentingnya pengelolaan hasrat atau keinginan dan larangan terhadap perilaku boros atau israf.
“Religiositas membantu konsumen Muslim untuk mempertimbangkan kebutuhan sebelum membeli. Dalam konteks pesan-antar makanan online, ini bisa menjadi semacam penyaring alami untuk membedakan antara mana kebutuhan dan keinginan,” kata Rizqi.
Hanya saja Rizqi tak memungkiri jika pengaruh tekanan sosial dari orang sekitar kadang kala mengganggu pengendalian diri seseorang. “Contohnya pas ada teman yang berbagi ulasan makanan atau memamerkan pengalaman di media sosial, kita jadi ada dorongan tambahan untuk ikut menjajal,” ujarnya.
Pola Konsumsi Generasi Era Digital

Riset yang terpublikasi di jurnal Innovative Marketing ini melibatkan responden Muslim, mayoritas berusia 17–24 tahun. Jelasnya, “Kebanyakan yang impulsif berasal dari kelompok pendapatan menengah ke atas. Mereka didominasi milenial dan generasi Z ya.”
Dilansir Databoks, Indonesia sendiri dinobatkan sebagai rajanya pasar pesan-antar makanan online terbesar di Asia Tenggara. Dengan nilai transaksi bruto mencapai USD 4,6 miliar pada tahun 2023.
Sementara temuan menarik lainnya diungkapkan oleh perusahaan Grab—salah satu penyedia layanan pesan-antar makanan online. Dalam Laporan Grab: Tren Layanan Pesan-Antar Online di Indonesia 2022, tercatat bahwa rata-rata jumlah uang yang dibelanjakan masyarakat Indonesia per pesanan di layanan GrabFood meningkat 54% sepanjang tahun 2019-2022.
“Beberapa literatur yang pernah saya baca memang tahun 2010 ke bawah masyarakat Indonesia belum terpapar jasa layanan seperti GoFood dan semacamnya. Namun kini sudah jauh berbeda, orang-orang sudah memiliki smartphone, aplikasi semakin canggih, serba instan dan anti ribet,” paparnya.
Ia juga menyoroti adanya switching behavior di tengah masyarakat. Awalnya, masyarakat Indonesia tampak kurang tertarik pada layanan pesan-antar makanan online ini. Namun, dengan strategi diskon makan dan ongkos kirim besar-besaran di awal kemunculannya, layanan ini kemudian berhasil menarik perhatian banyak konsumen.
Seiring waktu, diskon-diskon tersebut mulai mengecil. Namun masyarakat Indonesia mulai mewajari adanya biaya ongkos kirim dan mark-up harga makanan yang perlahan naik.
“Karena sudah tercipta pola baru, konsumen jadi mewajari ongkir dan biaya lainnya. Halah paling pol Rp10.000. Bahkan, GoFood, GrabFood kayak gitu sudah ada syarat minimum pembelian untuk memperoleh diskon, yang kini sudah menjadi hal wajar di mata konsumen,” beber pakar ekonomi Islam dan riset pemasaran UMS itu.
Solusi Meredam Budaya Impulsif
Rizqi menekankan pengelolaan belanja impulsif membutuhkan pendekatan yang lebih mendalam, terutama melalui penguatan dimensi spiritual. Menjaga dan meningkatkan iman bisa jadi langkah awal untuk membentengi diri dari hal-hal negatif seperti perilaku impulsif.
“Orang yang memiliki hubungan baik dengan Tuhan, imannya kuat. Orang-orang seperti ini cenderung memiliki pengendalian diri yang lebih baik, artinya bisa menekan nafsu juga,” ujarnya. Nilai-nilai dalam Islam, seperti larangan israf (pemborosan) dan anjuran qana’ah (merasa cukup), membantu membangun kerangka moral yang kuat untuk menahan dorongan konsumtif.
Selain menjaga iman, dirinya juga merekomendasikan refleksi sebelum melakukan pembelian. Konsumen disarankan untuk bertanya pada diri sendiri apakah pembelian tersebut benar-benar dibutuhkan atau sekadar didorong oleh promosi dan suasana hati.
Pengelolaan keuangan pun jadi salah satu solusi yang diusulkan. Rizqi menyarankan konsumen untuk menetapkan anggaran khusus untuk belanja makanan dan minuman online, serta memisahkan dana untuk kebutuhan pokok. Dengan cara ini, konsumen menjadi lebih aware akan batasan pengeluaran mereka, sehingga tak melebihi kemampuan finansial.
Rizqi juga menganjurkan konsumen untuk memanfaatkan circle atau pertemanan positif di sekeliling mereka. Bergaul di lingkungan sosial yang mendukung nilai-nilai religiositas dapat memperkuat pengendalian diri dan membantu membangun kebiasaan konsumsi yang lebih sehat.
Katanya, “Bukan membatasi diri dalam bergaul, tapi lebih ke arah bagaimana sikap kita supaya tidak terpengaruh ajakan sosial untuk berperilaku impulsif.” Lingkungan yang positif, seperti keluarga atau teman-teman yang sama-sama mengerti agama akan lebih memahami pentingnya pengelolaan konsumsi, sehingga mampu menjaga pola belanja yang bijak.
“Orang yang religiositasnya tinggi, dia akan paham etika konsumsi dalam Islam, seperti larangan untuk bertindak berlebihan dan mubazir,” jelas Rizqi meluruskan.
Rizqi berharap konsumen Muslim, khususnya generasi muda, dapat lebih bijak dalam menghadapi tantangan konsumsi digital. “Sebagai umat Muslim, sudah sewajarnya kita mengenali etika konsumsi dalam ajaran kita,” pungkasnya.
Penulis: Genis Dwi Gustati
Editor: Al Habiib Josy Asheva
Desainer: Salsabila Kamila Wardah
Sumber: Unversitas Muhammadiyah Surakarta
Discussion about this post