Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menetapkan kebijakan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024 yang rilis awal Desember lalu.
Meski kenaikan UMP sudah jadi agenda rutin setiap tahun, kebijakan UMP 2025 tetap memicu pro dan kontra dari berbagai pihak. Merujuk pewartaan Tempo, demonstrasi yang digelar oleh Partai Buruh bersama sejumlah serikat pekerja pada Kamis (24/11/2024) di depan Patung Kuda, Monumen Nasional, Jakarta, setidaknya menyuarakan dua tuntutan utama. Pertama, mendesak kenaikan upah minimum sebesar 8-10 persen. Kedua, mencabut peraturan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.
Dosen Ekonomi Pembangunan UMS, Deni Aditya Susanto, S.E., M.Ec.Dev. turut memberikan argumennya mengenai implikasi kenaikan upah minimum 2025. Dirinya yang berfokus pada kebijakan ekonomi dan pengembangan ekonomi regional, menyebut tren kenaikan UMP merupakan hal wajar dan rutin terjadi setiap tahun. Efektivitas kebijakan ini pun bergantung pada sejumlah faktor.
“Kenaikan ini memberikan ekspektasi pendapatan yang lebih tinggi bagi pekerja, sehingga meningkatkan partisipasi angkatan kerja dan daya beli, meskipun hanya dalam jangka pendek,” ujarnya, Rabu (11/12/2024).
Berdasarkan penjelasan Deni yang juga merupakan tenaga ahli Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah Kabupaten Madiun dan Kabupaten Magelang, pemerintah biasanya menggunakan formula yang melibatkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai dasar perhitungan upah minimum.
Dilansir Kompas, dengan ditetapkannya nilai kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5 persen, rata-rata upah minimum di seluruh provinsi Indonesia pada tahun depan menjadi Rp3.315.728. Angka ini naik sekitar Rp200.000 dari rata-rata tahun sebelumnya.
Kenaikan UMP 2025 di Mata Industri
Meski turut menyambut baik kebijakan tersebut, ia menyoroti tantangan besar dari sisi dunia usaha. Sebab kenaikan UMP berpotensi meningkatkan biaya produksi, terutama pada sektor padat karya yang sangat bergantung pada tenaga kerja manual.
“Perusahaan mungkin akan melakukan berbagai penyesuaian, seperti menurunkan kualitas produk, menaikkan harga barang, atau bahkan memindahkan operasional ke daerah dengan UMP lebih rendah,” tambah dosen pengampu Ekonomika Regional itu.
Deni menyebutkan tren ini sudah terlihat di wilayah metropolitan seperti Semarang dan Surakarta. Banyak industri yang mulai kabur ke kota satelit, layaknya Kendal atau Wonogiri demi menekan biaya tenaga kerja.
Pernyataan Deni serupa dengan laporan Bisnis Indonesia, yang mengutip pendapat Ketua Umum Aprisindo, Eddy Widjanarko. Eddy menilai perubahan formula upah minimum bakal berdampak negatif terhadap beban dunia usaha yang memicu tekanan sektor padat karya. “Perubahan formula upah justru akan semakin mempercepat arus relokasi perusahaan-perusahaan padat karya dari daerah dengan UMK tinggi ke daerah dengan UMK yang lebih rendah,” tuturnya, Kamis (21/11/2024).
Deni menimpali jika kenaikan UMP kerap dianggap sebagai beban tambahan bagi sektor industri atau pengusaha. Sisi baiknya, para pekerja dan buruh mendapatkan pendapatan lebih baik. Maka menurutnya, kenaikan UMP harus diimbangi dengan kebijakan yang mendukung efisiensi dan produktivitas tenaga kerja. Tanpa dukungan tersebut, produk lokal semakin sulit bersaing, apalagi dengan barang impor yang jauh lebih murah.
Dirinya berharap pemerintah dapat memberikan solusi yang seimbang, misalnya pemberian insentif fiskal kepada perusahaan. Layaknya pengurangan pajak daerah, retribusi, atau biaya pengurusan izin usaha lainnya bisa membantu perusahaan menekan biaya operasional, tanpa harus memotong jumlah tenaga kerja.
Selain kebijakan fiskal, Deni melihat pemerintah bisa turut andil dalam perbaikan dan pemaksimalan infrastruktur daerah UMP rendah. Akses jalan yang bagus, kata Deni, memungkinkan perusahaan memangkas biaya transportasi mahal seperti kereta api. Dengan menekan biaya operasional, harga produk bisa menjadi lebih murah. “Nah, ini juga salah satu alternatif untuk memanjangkan umur daya beli masyarakat,” tambah Deni.
Bagaimana dengan Pekerja dan Buruh?
Dihubungi terpisah, dosen Fakultas Ekonomi dan Pembangunan (FEB) UMS, Dr. Agung Riyardi, S.E., M.Si. turut mengomentari kelayakan kenaikan gaji buruh. “Kalau angkanya naik sudah pasti hal yang positif, meski sekali lagi, angkanya masih di bawah permintaan pekerja dan buruh,” kata dia.
Ia menilai kenaikan UMP 2025 baru sebatas ‘terlihat tepat’, namun belum menjadi ‘perbuatan tepat’. Mengapa demikian?
“Kalau ingin menuju upah untuk kesejahteraan, seharusnya perlu memperhatikan poin tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) seperti reduced inequality dan decent work and economic growth. Indonesia termasuk negara berpendapatan menengah, maka artinya penting kecukupan tabungan dan tabungan tua bagi kalangan pekerja,” ungkapnya yang juga anggota Serikat Pekerja Kampus Jawa Tengah.
Beberapa waktu lalu, kawan Agung di Serikat Pekerja Kampus (SPK) yang juga aktif di serikat buruh melakukan suatu metode menghitung upah buruh, dan hasilnya ditemukan perhitungan upah buruh Indonesia tahun 2025 harusnya lebih dari Rp7 juta. Metode yang digunakan meliputi pendapatan perkapita (y), tingkat inflasi (P), dan tingkat pertumbuhan ekonomi (G). Jika dirumuskan secara sederhana, maka menjadi sebagai berikut:
Tentu ini menarik. Agung sendiri juga berusaha menghitung upah buruh yang layak tahun 2024. Ia menggunakan share atau kontribusi pekerja terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) riil sebagai alternatif bagi pendapatan per kapita.
“Asumsi saya, share pengusaha adalah 25 persen, sehingga share pekerja terhadap PBD riil adalah 75 persen. Perhitungan ini menghasilkan upah layak 2024 kurang dari Rp6 juta, tapi tentunya memerlukan pengembangan dan justikasi lebih lanjut di sana-sini ya,” kata dosen Ekonomika Islam dan Mikroekonomika itu meluruskan.
Setidak-tidaknya perhitungan Agung menunjukkan adanya selisih yang signifikan antara upah kesejahteraan versinya dan UMP rumusan pemerintah. Rata-rata selisih yang ia dapatkan sedikit di bawah Rp2 juta. Adapun selisih paling tinggi terjadi di provinsi-provinsi di Kalimantan, sedangkan selisih paling rendah terjadi di provinsi-provinsi di Maluku dan Papua.
Selisih Upah Layak dan UMP 2024
Pulau/Kepulauan | Selisih Upah Layak dan UMP (Rupiah) |
Sumatera | 1.735.687,01 |
Jawa | 2.222.679,20 |
Bali dan Nusa Tenggara | 1.286.240,00 |
Kalimantan | 3.567.439,18 |
Sulawesi | 2.162.803,41 |
Papua dan Maluku | 1.236.886,29 |
Ia menegaskan keberhasilan kebijakan UMP tak semata-mata bergantung pada besarnya angka kenaikan. Melainkan bagaimana angka tersebut diterjemahkan ke dalam kesejahteraan nyata bagi seluruh lapisan masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah kesejahteraan pekerja kampus di mana masih banyak yang mendapatkan upah di bawah upah minimal.
Penulis: Genis Dwi Gustati
Editor: Al Habiib Josy Asheva
Discussion about this post