KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga bisa terjadi dari suami ke istri atau sebaliknya, juga dari orang tua kepada anaknya. Intinya dari seseorang yang merasa lebih berkuasa kepada siapa saja yang dianggapnya lebih rendah.
Kekerasan ini juga bisa terjadi di tingkatan yang lebih luas. Bisa terjadi antar masyarakat di kawasan perkampungan tingkat RT (Rukun Tetangga) sekalipun. Bisa juga KDRA atau Kekerasan Dalam Ruang Agama yang terjadi di dalam satu agama atau antar agama. Juga KDRN atau Kekerasan Dalam Ruang Negara, yakni dalam negara atau antar negara. Dalam negara biasanya KDRN terjadi akibat pandangan perbedaan politik yang tajam. Semua itu adalah “violence” atau kekerasan yang sudah barang tentu destruktif.
Mengapa terjadi violence dari skala rumah tangga sampai level negara. Konflik ini terjadi karena ada perbedaan (division) yang tidak dipahami sebagai kenyataan dunia. Perbedaan sebaiknya diterjemahkan sebagai keberagaman bukan “division”. Karena makna keberagaman adalah keniscayaan perbedaan, seperti jenis kelamin, suku, bangsa, agama, dan lain-lainnya. Seperti halnya keberagaman dalam makhluk hidup lainnya. Bermacam-macam jenis binatang dan tumbuhan. Semuanya indah, non-violence, non-destructive.
Bila perbedaan itu dipahami sebagai keberagaman, maka yang muncul adalah keindahan. Bahkan perbedaan pendapat pun adalah rahmat. Semuanya menjadi indah, teratur, menyenangkan dan menginspirasi. Perbedaan model inilah yang akan menumbuhkan kreativitas, bukan kekerasan (violence). Dunia menjadi lebih tenang, aman, dan damai. Peaceful.
Kenapa ada KDRT
Seperti yang disampaikan di atas bahwa kekerasan terjadi akibat tidak memahami perbedaan dalam arti keberagaman. Mengapa pemahaman yang benar itu tidak terjadi? Hal itu bisa disebabkan oleh pemahaman yang salah terhadap berbagai konsep kehidupan, termasuk konsep agama.
Kesalahan pemahaman terhadap sebuah konsep itu tertanam sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan. Seperti misalnya anggapan bahwa laki-laki berkedudukan lebih tinggi daripada perempuan. Sehingga ada perasaan laki-laki lebih dominan. Seorang suami yang mempunyai konsep itu merasa harus dilayani sepenuhnya oleh istri. Konsep itu menjadikan ego seseorang sangat kuat. Dirinya lebih hebat daripada orang lain.
Ketika seseorang menikah tentu dia berharap pasangannya bisa mengikuti keinginan egonya. Hal itu terjadi di kedua belah pihak. Suami dan istri masing-masing membawa egonya yang sudah terbentuk sejak lama. Dalam hal tertentu ada persamaan, tetapi sudah pasti ada perbedaan.
Pada tahap awal, saat pacaran, semua perbedaan itu dapat ditekan atau tertutupi oleh rasa cinta. Keduanya dapat menanggulangi masalah perbedaan dengan sukses. Bahkan sedikit percekcokan itu menjadi bumbu “perasa” dalam percintaan. Semuanya berlalu dengan baik sampai akhirnya menikah.
Pernikahan yang awalnya indah bisa menjadi prahara bila keduanya tidak mampu mengelola ego. Perbedaan-perbedaan mulai muncul. Perilaku asli masing-masing ternyata berbeda sekali, termasuk cara sikat gigi dan memakai pasta gigi pun bisa menjadi masalah. Akumulasi perbedaan kecil-kecil itu bisa terus mengganggu ego masing-masing. Dan keadaan ini akan memperkuat konsep ego yang menjurus pada “I am the best” dan “you are the worst”.
Dengan konsep suami berada di atas dan istri harus mengikuti apa kehendak suami ini akan menjadi santapan empuk ego. Ego sebagai hawa nafsu sangat menyenangi keadaan yang bisa memuaskan dirinya. Konflik, percekcokan, dan kekerasan lainnya adalah faktor yang disenangi ego. Ditambah faktor luar yang dihadapi maka di dalam keluarga akan muncul KDRT. Ego akan tepuk tangan bila konflik itu berkepanjangan, karena itulah santapan ego. Pada level negara bentuknya adalah perang. Kita sering menyaksikan perang berlarut-larut karena keduanya mempunyai ego yang merasa dirinya pada posisi yang benar. Ego individu yang menjadi ego kolektif di masyarakat itu dimanfaatkan oleh pimpinan negara dengan ego yang kuat.
Lalu bagaimana cinta yang awalnya dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan kekerasan (KDRT)? Bisa jadi konsep cinta ini pun basisnya adalah “take and give” atau “trade off”. Bukan cinta secara hakiki tanpa pamrih bersifat duniawi yang serba terukur. Apapun yang bersifat duniawi dan terukur sudah pasti akan berubah. Bisa naik dan atau turun. Umumnya turun. Perjalanan pernikahan yang sudah dengan cinta yang cenderung “trade-off” ini akan luntur atau turun dimakan usia pernikahan. Keadaan ini akan meningkatkan peluang KDRT yang berujung perceraian.
Konsep dalam keluarga berupa “division of labor” juga bisa jadi pemicu KDRT. Suami, umumnya, yang bertugas mencari nafkah merasa lebih berfungsi dalam keluarga. Dengan dalih menjadi sumber penghidupan. Suami yang menganggap bahwa istri diam di rumah itu kedudukannya lebih rendah itu pun bisa jadi sumber KDRT. Pemahaman terhadap konsep suami bekerja dan istri di rumah itu harus betul-betul utuh untuk kepentingan keluarga termasuk anak-anak. Bahwa anak-anak memerlukan perhatian dan kasih sayang orang tua itu yang membuat istri sebaiknya di rumah. Pada umumnya, orang-orang yang berhasil adalah mereka yang mendapatkan dekapan orang tuanya. Dekapan itu biasanya disalurkan lewat istri. Sang suami menitipkan penyaluran ini lewat istri manakala dia sedang sibuk bekerja. Sehingga sang anak paham bahwa kedua orang tuanya menyayangi dirinya.
Konsep keluarga sebagai “division of labor” harus dihindari. Pasangan suami istri harus betul-betul memahami makna berkeluarga, yakni sesuai dengan do’a pernikahan: sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sakinah adalah damai, tenang, tentram dan aman. Sakinah akan terbangun bila dilandasi dengan rasa kasih sayang dan cinta tulus tanpa mengharapkan imbalan, atau mawaddah. Keadaan yang sakinah dan mawaddah inilah yang akan menjadikan keluarga penuh rahmah. Jadi, kesatuan sakinah, mawaddah dan rahmah ini adalah buah pasangan yang saling mencintai dan kasih sayang secara tulus. Mereka memahami asal usul pasangan dengan berbagai persamaan dan perbedaannya. Suami-istri bisa merasakan bahwa perbedaan dalam arti keberagaman adalah rahmat.
Untuk menghindari KDRT pasangan harus mampu mengelola ego (hawa nafsunya). Pasangan tidak membawa konsep sendiri-sendiri dalam pernikahan yang merasa konsepnya paling baik dan benar. Pasangan tidak terjebak anggapan keluarga sebagai “division of labor”. Pasangan mampu mendengarkan cerita (termasuk keluhan) masing-masing. Mereka bersama-sama mencari solusi bila ada masalah, tidak berargumentasi berdasarkan pikirannya sendiri. Masalah pun akan selesai tanpa campur tangan orang lain, termasuk keluarga, tetangga, dan ahli psikologi.
Keluarga yang sakinah, mawaddah, dan penuh rahmah akan tercermin dari perilaku pasangan sehari-hari tanpa harus pamer atau dipertontonkan menuju ke viral. Keluarga ini dapat diibaratkan bunga yang mekar, harum dan indah tanpa mengharapkan pujian. Keluarga ini akan jauh dari KDRT. Kalaupun ada perbedaan pendapat, bisa jadi bumbu percintaan. Perbedaan bahkan dapat menjadi rahmat.
Asep Saefuddin (Rektor Universitas Al-azhar Indonesia/Guru Besar Statistika FMIPA IPB)
Baca Juga : Tingkatkan Industri Maritim, Mahasiswa ITS Rancang Seasando
Discussion about this post