Baru-baru ini kita disajikan dengan beragam berita yang tengah viral di media massa maupun media sosial. Kabar berita tersebut cukup menyita perhatian publik dan juga bisa dibilang cukup memprihatinkan.
Berita pertama, beberapa waktu kita juga mendengar seorang pemilik rental mobil yang tewas dianiaya oleh sekelompok orang di Kabupaten Pati. Peristiwa itu terjadi karena sang pemilik rental dikira maling mobil oleh warga sekitar yang asalnya karena diteriaki maling oleh beberapa orang sebagai provokator. Masalahnya juga sama yaitu dipicu oleh emosi yang tidak dapat dikendalikan.
Dari sini kita juga mengetahui bahwa emosi yang tak kendali sangat berbahaya, sehingga memerlukan manajemen emosi yang baik.
Selanjutnya, berita yang kedua yakni kasus penganiayaan terhadap dua remaja di Cirebon pada tahun 2018 (kasus Vina dan Eky Cirebon) yang kembali viral gara-gara sebuah film yang mengangkat kejadian tersebut. Kasus itu juga disertai ragam polemik dalam penegakan hukum di baliknya. Berita ini lebih dahulu viral daripada kedua berita sebelumnya.
Terbunuhnya Vina dan Eky yang dianiaya oleh sekelompok orang dari geng motor juga menjadi salah satu kejadian miris akibat emosi yang terluapkan dan tidak dapat terkendali. Adapun sebab kenapa penganiayaan terjadi karena diduga adanya ucapan yang mengandung provokasi dari dua kelompok geng motor yang saling bergesekan karena suatu hal.
Sama seperti dua berita sebelumnya berita yang ketiga juga tidak kalah memprihatinkan. Yakni seorang karyawan pabrik di Tangerang tewas dibunuh oleh bosnya. Korban ditemukan di gudang salah satu pabrik di Desa Kuta Jaya, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang (30/6/2024). Ternyata motif pembunuhan ada-lah karena pelaku merasa sakit hati dengan ucapan korban.
Gejolak Emosi
Dari tiga berita di atas kita bisa menarik sebuah benang merah bahwa sekali lagi masalahnya adalah komunikasi dan emosi yang tak terkendali. Dari sini kita juga mengetahui bahwa emosi yang tak kendali sangat berbahaya sehingga memerlukan manajemen emosi yang baik.
Emosi harus dikendalikan agar tidak melanggar rambu-rambu etika kemanusiaan dan norma agama.Apalagi sampai berujung pada jatuhnya korban hingga meninggal dunia.
Dibutuhkan sikap kedewasaan dan kemampuan mengendalikan emosi yang baik di tengah kondisi emosi yang sedang bergejolak. Selain itu, dibutuhkan ketenangan sikap dalam berpikir dan kemampuan mempertimbangkan secara matang mengenai keuntungan atau kerugian tindakan yang akan diambil ketika berada dalam kondisi demikian.
Di samping juga perlu ada komunikasi efektif sebagai akar dari ikhtiar untuk menemukan solusi dari beragam masalah yang ada. Karena memang komunikasi adalah salah satu instrumen untuk verifikasi kebenaran atau tabayun.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ada dua kata kunci yang harus diperhatikan ketika seseorang dalam kondisi gejolak emosi. Pertama pengendalian emosi (diri) dan kedua komunikasi.
Mengutip pendapat Rodin, kontrol emosi adalah perasaan bahwa seseorang dapat membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif untuk menghasilkan akibat positif yang diinginkan dan menghindari akibat negatif yang tidak diinginkan.
Sedangkan menurut Blackburn, kontrol emosi (diri) adalah kemampuan untuk menunda atau menghalangi konflik dalam semua analisis perkembangan kejiwaan secara mendalam. Meliputi pengendalian dorongan, pengendalian diri, toleransi terhadap frustrasi dan penundaan pemuasan kebutuhan yang berpotensi membahayakan atau konflik.
Dua pendapat di atas mengisyaratkan bahwa konflik seringkali muncul disebabkan bukan hanya dari isi pesan yang disampaikan oleh seseorang, tetapi juga dari bagaimana seseorang dalam menyampaikan isi pesan tersebut. Ini berarti berkaitan dengan efektivitas atau cara dalam berkomunikasi yang turut menentukan pengendalian emosi seseorang.
Psikolog asal Amerika Serikat, Marshal B. Rosenberg (1934-2015), menyebutkan terdapat dua jenis pola bahasa komunikasi yang biasa ditemukan. Sedangkan salah satu dari kedua pola tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik.
Pertama adalah the language of jackal. Pola bahasa komunikasi ini menampilkan karakter seseorang yang merasa superior dan orang lain inferior (kuasa komunikasi). Jenis yang pertama ini yang sering menimbulkan terjadinya konflik.
Sementara yang kedua adalah the language of the giraffe, yakni pola bahasa komunikasi dengan melihat orang lain memiliki kedudukan yang sama. Selain itu, dalam menyampaikan substansi atau isi pesan dilakukan dengan cara yang sopan, menunjukkan rasa empati, konstruktif, serta selalu memperhatikan nilai etika dan moral yang berlaku.
Etika sebagai bagian dari kehidupan manusia harus selalu dijunjung tinggi di atas segalanya dan harus dipatuhi oleh semua kalangan sebagai prinsip hidup bermasyarakat. Etika merupakan rambu-rambu kehidupan sosial yang dalam pengamalannya juga sangat membutuhkan latihan-latihan hingga dapat menjadi tradisi (habbit).
Memperhatikan pola dari kedua bahasa komunikasi ini kita sebenarnya diajak untuk taat dan memperhatikan adab-adab yang baik dalam menyampaikan pesan sebagai bagian dari etika dan moral. Ada hubungan konstruktif antara komunikasi dengan instrumen pengendalian emosi.
Karena hakikatnya dengan komunikasi dan kemampuan menahan diri yang baik ini dapat melatih diri kita untuk mengendalikan emosi serta berdampak baik pada kualitas kehidupan (etika). Baik itu dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat.
Di samping komunikasi juga merupakan instrumen sosial untuk semakin peduli dengan sesama. Komunikasi juga bagian dari sarana latihan untuk memperhatikan bagaimana beretika, bersikap, berperilaku, dan bermoral yang baik dan benar.
Ditulis oleh: Dartim Ibnu Rushd, S.Pd., M.Pd. (Dosen Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam UMS)
Sumber : Universitas Muhammadiyah Surakarta
Discussion about this post