Isu gempa megathrust tengah menjadi perbincangan serius di kalangan masyarakat Indonesia. Kekhawatiran terhadap potensi gempa bumi dahsyat ini kian meningkat, setelah berbagai awak media gencar menjejali pemberitaan terkait kemungkinan terjadinya kerusakan masif yang diakibatkan oleh gempa megathrust. Seberapa akurat prediksi tersebut?
Peneliti di bidang geofisika Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr. Annisa Trisnia Sasmi, S.Si., M.T. menjelaskan gempa megathrust bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Tak menampik fakta, Indonesia memang berada dalam kungkungan Ring of Fire yang amat rentan terhadap gempa bumi, termasuk ancaman megathrust.
Peta zona megathrust di Indonesia tahun 2017. Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Dalam lingkup ilmu kebumian, megathrust merupakan zona patahan naik yang terbentuk di wilayah batas lempeng tektonik. Pergerakan konvergen pada wilayah subduksi lempeng tektonik menghasilkan energi besar yang berkontribusi terhadap aktivitas kegempaan di sekitar zona megathrust. Secara harfiah, kata “mega” berarti besar dan “thrust” berarti dorongan atau patahan yang naik.
“Indonesia itu negara yang unik secara geologis. Posisi Indonesia yang diapit oleh lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik mengakibatkan terbentuknya jalur megathrust yang membentang dari sisi barat laut Sumatra, menerus hingga Selatan Jawa, Bali, dan sebagian Nusa Tenggara. Megathrust juga ditemukan di wilayah bagian utara Pulau Papua serta di antara Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Jadi bukan hanya di Selat Sunda atau Selatan Jawa seperti yang sedang banyak diberitakan,” jelas dosen Geografi UMS itu, yang kerap dipanggil Annisa.
Ia menerangkan Indonesia terletak di antara lempeng tektonik yang sangat kompleks. Terdapat lempeng Indo-Australia yang berada di bagian selatan, lempeng Eurasia di bagian utara, dan lempeng Pasifik di bagian timur. Pertemuan ketiga lempeng tektonik tersebut menyebabkan negara kita menjadi daerah yang rawan gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi.
Ibarat sebuah susunan puzzle, Indonesia terletak di antara tiga potongan puzzle besar (lempeng tektonik). Sementara megathrust ialah batas dari ketiga puzzle, yang mana jika disatukan, batas pinggiran masing-masing puzzle akan punya cekungan, yang dapat diibaratkan sebagai palung megathrust.
Annisa menekankan kekuatan yang dihasilkan oleh gempa bumi megathrust berpotensi meluluhlantakkan permukaan hingga memicu tsunami. Ketika gempa bumi megathrust terjadi, dorongan yang kuat di dasar laut mengakibatkan pergerakan vertikal yang besar. Kondisi tersebut lantas menyebabkan pemindahan volume air yang signifikan, bergerak menjauhi area dorongan bawah laut yang akhirnya memicu tsunami, persis fenomena gempa Aceh 2004
“Kalau yang ramai di berita-berita, justru spesifik ke arah ancaman megathrust di Selat Sunda dan Selatan Jawa. Memang belakangan riset-riset yang menilai dan menyelisik potensi megathrust di wilayah tersebut sedang berkembang, terutama dengan berkaca pada kondisi di mana terdapat beberapa zona seismic gap di wilayah Jawa bagian selatan,” terang dosen yang mengampu mata kuliah Manajemen Bencana Wilayah Tropis tersebut.
Baca juga: Dugaan Segmentasi Patahan pada Masa Gempa Lombok 2018, Perlukah Masyarakat Was-was?
Annisa menjelaskan bahwa zona seismic gap merupakan wilayah yang berpotensi memiliki aktivitas kegempaan yang tinggi, tetapi justru belum pernah mengalami gempa bumi yang signifikan dalam 50 hingga 100 tahun terakhir. Zona seismic gap ditemukan di beberapa area di sepanjang jalur megathrust Sumatra-Andaman hingga selatan Jawa.
Tiga zona “seismic gap” tanpa aktivitas signifikan di Pantai Selatan Jawa-Bali. Sumber: Badan Riset dan Inovasi Nasional
Beberapa sumber juga menemukan adanya seismic gap di Selat Bali dan sekitar Pantai Alor. Keberadaan area seismic gap perlu diwaspadai mengingat adanya potensi kejadian gempa bumi dan tsunami yang dahsyat di wilayah ini.
Perkiraan Gempa Megathrust
Apakah gempa megathrust akan terjadi di Indonesia?
Dilansir Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kini setidaknya terdapat 16 zona megathrust yang mengepung Indonesia. Keenam belas zona tersebut berada pada enam zona subduksi aktif, mulai dari Subduksi Sunda, Subduksi Banda, Subduksi Lempeng Laut Maluku, Subduksi Sulawesi, Subduksi Lempeng Laut Filipina, hingga Subduksi Utara Papua.
Berikut zona megathrust di Indonesia dan potensi maksimal besaran gempa, berdasarkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa oleh Pusat Studi Gempa Nasional tahun 2017 yang sedang diperbarui dan diproyeksikan selesai pada akhir 2024:
- Megathrust Aceh-Andaman (M 9,2)
- Megathrust Nias-Simeulue (M 8,9)
- Megathrust Batu (M 8,2)
- Megathrust Mentawai-Siberut (M 8,7)
- Megathrust Mentawai-Pagai (M 8,9)
- Megathrust Enggano (M 8,8)
- Megathrust Selat Sunda-Banten (SSB) (M 8,8)
- Megathrust Jawa Barat (M 8,8)
- Megathrust Jawa Tengah-Jawa Timur (M 8,9)
- Megathrust Bali (M 9,0)
- Megathrust NTB (M 8,9)
- Megathrust NTT (M 8,7)
- Megathrust Laut Banda Selatan (M 7,4)
- Megathrust Laut Banda Utara (M 7,9)
- Megathrust Utara Sulawesi (M 8,5)
- Megathrust Lempeng Laut Filipina (M 8,2)
“Viralnya pemberitaan mengenai potensi gempa megathrust merupakan kesempatan bagi para akademisi untuk mengedukasi masyarakat Indonesia terkait potensi bahaya bencana geologis yang ada di sekitarnya. Jangan dimaknai sebagai hal yang bertujuan untuk menakut-nakuti masyarakat,” ujar Annisa mengingatkan.
Sejatinya gempa bumi megathrust bukanlah hoax, melainkan ancaman nyata yang patut diwaspadai. Penting pula bagi kita untuk menyikapi sebuah informasi dengan bijak. Terlebih untuk tidak berpikiran seolah-olah bencana tersebut akan terjadi dalam waktu yang dekat.
Senada dengan pendapat Daryono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, meskipun Indonesia berpotensi mengalami gempa bumi megathrust, para pakar tak dapat memprediksi secara pasti kapan bencana tersebut terjadi. Hal tersebut dikarenakan belum adanya teknologi dan data yang canggih.
“Kita perlu pemahaman yang tepat dan kesiapsiagaan yang tinggi untuk mengurangi risiko bencana megathrust. Dengan begitu kita jadi lebih siap menghadapi kemungkinan terburuk,” sambungnya.
Upaya Mitigasi Bencana
Diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam menghadapi ancaman gempa bumi megathrust. Menurut Annisa, mitigasi bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun juga tanggung jawab kita semua sebagai warga negara yang peduli akan keselamatan diri dan sesama.
Pertama, pemerintah sebagai pemegang otoritas sudah semestinya menghadirkan kebijakan yang berorientasi pada keselamatan publik. Memastikan bahwa regulasi mengenai tata ruang dan pembangunan infrastruktur disesuaikan dengan standar keamanan bencana.
Kedua, pemerintah perlu mengembangkan dan memelihara sistem peringatan dini untuk tsunami yang terintegrasi dengan data seismik real-time. Upaya tersebut melibatkan pemasangan alat deteksi gempa di dasar laut dan sistem komunikasi yang cepat.
Detik.com melansir BMKG saat ini tengah melakukan mitigasi atau mengurangi risiko bencana ke wilayah yang dianggap berpotensi mengalami gempa bumi megathrust.
Dwikorita Karnawati selaku kepala BMKG menerangkan BMKG telah memasang seismograf (alat pencatat gempa bumi) sebanyak 39 buah, akselerograf (alat pemantau percepatan tanah terhadap waktu) dipasang sebanyak 20 buah, hingga automatic water level (alat pemantau tinggi laut) sejumlah 22 buah di wilayah Banten dan Selat Sunda.
Ketiga, edukasi mitigasi bencana melalui pendidikan dan pelatihan. Pemerintah bersama akademisi perlu meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi yang intensif mengenai bahaya gempa megathrust dan bagaimana cara menyelamatkan diri.
“Pelatihan evakuasi darurat di sekolah-sekolah, kantor, desa-desa, maupun di seluruh lapisan masyarakat perlu digalakkan secara berkala untuk memberitahukan respon yang tepat dalam menghadapi bencana. Masyarakat harus dilatih untuk tidak panik, mengetahui jalur evakuasi yang aman, serta memahami tindakan yang harus diambil dalam situasi darurat.” tegas Annisa.
Ia berpendapat Indonesia bisa mencontoh Jepang, negara kepulauan yang memiliki potensi bencana geologi dan bencana hidrometeorologi yang sama besar dengan Indonesia. Pembangunan infrastruktur, pendidikan, maupun perkembangan teknologi di Jepang, semuanya didesain dengan mengutamakan konsep keselamatan dan diarahkan untuk mengurangi risiko bencana alam yang kerap terjadi.
Penting pula bagi kita untuk belajar tentang cara evakuasi yang aman, terutama saat sedang berada di dalam gedung. Hindari kaca dan perabotan yang mudah roboh ketika hendak menyelamatkan diri. Utamakan melewati tangga daripada lift. Berkumpullah pada titik kumpul yang telah ditentukan, dan tunggu instruksi dan pemberitaan selanjutnya dari instansi yang berwenang.
“Atau barang kali kita sedang berada di dekat pantai, segera jauhi area pantai dan menuju ke tempat yang tinggi seperti shelter tsunami atau area bukit,” imbuhnya.
Ilustrasi tas siaga bencana. Sumber: Kompas.id dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Sebagai tambahan, masyarakat wajib memiliki tas siaga bencana—tas khusus yang disiapkan untuk mengamankan perlengkapan dan barang-barang berharga jika sewaktu-waktu bencana yang tak diinginkan datang menghampiri.
“Jangan hanya gelisah dan terjebak dalam ketakutan. Dengan upaya mitigasi bencana yang tepat serta pemahaman yang cukup, kita bisa mengurangi risiko dan meningkatkan kesiapsiagaan bersama-sama,” tegas Annisa mengakhiri.
Penulis: Genis Dwi Gustati
Editor: Al Habiib Josy Asheva
Discussion about this post