Sudah jadi rahasia umum jika Teluk Pacitan memiliki panorama indah nan memanjakan mata. Sayangnya di balik pesona itu, wilayah teluk memiliki potensi lebih besar terdampak oleh tsunami.

Teluk Pacitan, Jawa Timur, Indonesia. Kompas.com/Anggara Wikan Prasetya
Bentuk cekungan teluk yang menawan justru jadi faktor utama yang memperbesar dampak gelombang tsunami, menjadikannya sebagai salah satu wilayah paling rawan. “Teluk berbentuk cekung biasanya menjadi pusat energi gelombang tsunami, sehingga dampaknya jauh lebih besar. Sebagai perbandingan, Teluk Palu yang terdampak tsunami besar pada 2018 juga menunjukkan pola serupa,” jelas Jumadi, S.Si., M.Sc., Ph.D., peneliti dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kala ditemui di ruang kerjanya, Selasa (31/12/2024) pagi.
Faktor lainnya ialah kedekatan Teluk Pacitan dengan Palung Jawa, zona subduksi yang sangat aktif secara seismik. Di sana, lempeng Indo-Australia bertumbuk di bawah lempeng Eurasia, menciptakan tekanan besar yang sewaktu-waktu bisa dilepaskan dalam bentuk gempa bumi besar.

Jumadi, S.Si., M.Sc., Ph.D. Humas UMS/Imam Safi’i
Dalam penelitian yang berjudul “Multi-Scenarios Tsunami Hazard and Evacuation Routes Using Seismic Data in Pacitan Bay, Indonesia”, Jumadi mengadopsi pendekatan pemodelan numerik untuk menghasilkan simulasi perambatan tsunami dan genangan air, serta netwok analysis menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk pemodelan evakuasi.
Jumadi menjelaskan metode yang dipilihnya mampu memberikan gambaran jelas dampak dan risiko yang mungkin terjadi. “Tujuan kami nantinya untuk memodelkan skenario tsunami menggunakan data seismik serta menilai rute evakuasi guna mengidentifikasi potensi kemacetan atau bottleneck,” kata dia.
Membangun Tiga Skenario Tsunami
Penelitian Jumadi berangkat dari data seismik yang dihimpun sejak tahun 1900 hingga 2023. Berdasarkan data tersebut, ia menyusun tiga skenario tsunami dengan pusat gempa hipotesis yang berbeda.

Data seismik tahun 1900-2023 di daerah kajian guna menyusun tiga skenario tsunami yang diolah Jumadi dari data gempa USGS.
“Saya memilih lokasi pusat gempa berdasarkan intensitas aktivitas seismiknya. Pendekatan ini berbeda dengan teori megathrust yang biasanya fokus pada seismic gap, yaitu area yang jarang terjadi gempa tetapi menyimpan potensi besar,” jelasnya.
Simulasi tsunami dilakukan menggunakan perangkat lunak Delft3D, yang memungkinkan pemodelan propagasi gelombang dari pusat gempa hingga ke teluk. Data batimetri resolusi tinggi dari Badan Informasi Geospasial (BIG) juga digunakan untuk memetakan morfologi dasar laut secara akurat.
“Integrasi data ini menghasilkan peta genangan yang membantu mengidentifikasi wilayah paling rentan,” terang Jumadi.
Itulah mengapa, hasil simulasinya menunjukkan dampak yang berbeda pada setiap skenario. Skenario pertama, yang dianggap paling parah, memprediksi gelombang tsunami setinggi 6,28 meter akan mencapai pantai dalam waktu 28 menit. Area seluas 743 hektar diproyeksikan terendam. Kecamatan Sidoharjo menjadi wilayah dengan genangan terluas, mencapai hampir 300 hektar.
Skenario kedua dan ketiga menunjukkan gelombang yang lebih kecil, dengan ketinggian masing-masing 3,5 meter dan 3,6 meter. Namun skenario tersebut tetap berdampak signifikan pada ratusan hektar wilayah. Skenario kedua tercatat memiliki waktu tempuh 26 menit dengan luas genangan 390 hektar, sementara skenario ketiga membutuhkan waktu lebih lama, yakni 35 menit, dengan area terdampak sekitar 405 hektar.
“Dalam model yang digunakan, faktor fisik seperti kemiringan lereng dan tutupan lahan sangat mempengaruhi sejauh mana gelombang bisa masuk ke daratan. Area dengan hutan lebih mampu menahan gelombang dibandingkan dengan area pemukiman,” ujarnya menambahkan.
Identifikasi Kemacetan Jalur
Penelitian dosen Geografi UMS tersebut juga difokuskan pada identifikasi titik-titik rawan kemacetan di jalur evakuasi. Dengan memanfaatkan analisis jaringan berbasis SIG, Jumadi memetakan rute evakuasi dari zona bahaya menuju tiga titik kumpul yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Pacitan. Titik evakuasi yang digunakan di lokasi berupa ruang terbuka yang berada pada elevasi cukup tinggi supaya tak terjangkau gelombang tsunami.
Hasil analisis Jumadi menunjukkan adanya potensi kemacetan di beberapa titik utama, seperti Jalan Jenderal Gatot Subroto dan Sinoboyo-Plumbungan. “Ketika terjadi tsunami, semua orang akan berusaha menuju titik kumpul terdekat. Jika tidak ada optimalisasi jalur yang baik, maka bakal terjadi bottleneck,” ujar Jumadi.
Ia juga mencatat pola perilaku masyarakat dalam situasi darurat acap kali sulit diprediksi. “Asumsinya, orang akan memilih jalur tercepat. Tapi kenyataannya, ada yang berbelok untuk menghindari macet atau memilih jalan yang mereka anggap lebih aman,” kata dia.

Simulasi tsunami yang dilakukan oleh Jumadi melibatkan 1.500 titik acak di zona bahaya. Setiap titik merepresentasikan individu yang mencoba mencapai titik kumpul dengan jalur tercepat. Hasil rute evakuasi kemudian digabungkan secara spasial dengan data jaringan jalan untuk menghitung frekuensi rute yang lewat, sekaligus membuat kepadatan peta.
“Dari data yang kami punya, rute utama seperti Jalan Jenderal Gatot Subroto memang memerlukan perhatian khusus ya, supaya optimal dan menghindari penumpukan lalu lintas selama evakuasi,” sambung dosen pengampu mata kuliah Analisis dan Pemodelan Spasial itu.
Melalui temuan ini, Jumadi berharap dapat membantu pemerintah daerah dalam merencanakan jalur evakuasi agar lebih baik. Sebab, lanjutnya, risiko tsunami di Teluk Pacitan diperparah dengan kurangnya pemahaman masyarakat tentang mitigasi bencana. Simulasi pengaturan titik kumpul dan optimalisasi jalur evakuasi menjadi langkah yang sangat mendesak ke depannya.
“Dengan riset ini, kita tahu di mana potensi bottleneck terjadi. Tinggal mengoptimalkan jalur evakuasi dan menambah titik kumpul di lokasi strategis yang tak terjangkau gelombang tsunami. Kemudian melakukan simulasi kembali sehingga ditemukan setting lokasi dan jumlah titik yang paling optimum. Riset kami selanjutnya mengarah ke situ,” ujarnya.
Kendati demikian, penelitiannya tersebut tak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah keterbatasan data spasial berkualitas tinggi yang dapat mempengaruhi akurasi model. Ke depan, penggunaan data real-time, seperti kondisi jalan dan populasi, dapat meningkatkan keandalan simulasi. Pengembangan model berbasis agen untuk memprediksi perilaku masyarakat dalam situasi darurat pun menjadi agenda penting.
“Bencana adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi persiapan yang baik dapat meminimalkan dampaknya,” kata dia. Model generik yang Jumadi kerjakan berbulan-bulan lamanya ini ia pastikan dapat diterapkan di wilayah lain dengan potensi serupa.
“Kami mencoba membuat model yang bisa digunakan di mana saja. Selain tiga skenario ini, model ini bisa digunakan untuk menguji berbagai skenario lain,” tambah ahli manajemen bencana UMS itu.
Bersama timnya, Jumadi terus mengeksplorasi metode baru untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Sebab Teluk Pacitan hanyalah secuil dari risiko bencana yang dihadapi Indonesia.
Penulis: Genis Dwi Gustati
Editor: Al Habiib Josy Asheva
Sumber: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Discussion about this post