Sebenarnya topik penelitian, jurnal, dan akreditasi tidak dapat dipisahkan dari paradigma pendidikan tinggi, termasuk di Indonesia. Hal itu mencakup konsep, operasionalisasi dan administrasi di tataran praktisnya. Selama belum memiliki konsep paradigmatik pendidikan tinggi, pembenahan apapun sifatnya sangat tambal sulam. Perguruan Tinggi akhirnya akan terseok-seok mengikuti konsep-konsep pendidikan tinggi luar negeri, seperti WCU (World Class University). Padahal kampus-kampus yang tercatat sebagai WCU seperti Harvard, Oxford, Stanford, Cambridge, dan seterusnya itu bisa masuk WCU karena tradisi atau budaya akademik dan keilmuan yang dibangun, disokong oleh GUG (Good University Governance) itu sudah menjadi tradisi dan profesionalitas kampus. Tidak serta merta jadi begitu saja dengan terpaksa mengikuti indikator-indikator buatan orang lain, termasuk WCU sekalipun. Memang bisa banyak kemiripan indikator, tetapi semuanya harus dipahami, bukan dipaksakan.
Teladan atmosfir akademik yang baik sebenarnya sudah dilakukan oleh PT Indonesia setelah kemerdekaan, yakni kultur keilmuan yang kuat ditandai dengan otonomi kampus. Kekuatan tradisi akademik inilah yang menyebabkan Kerajaan (Pemerintah) Malaysia pada tahun 1969 memutuskan pengiriman ratusan mahasiswa ke kampus-kampus kita seperti USU, UI, IPB, ITB, UGM, UNAIR. Para alumni PT Indonesia itu pada dekade 1990 dan 2000 banyak yang menjadi pimpinan universitas-universitas besar di sana. Saat ini mereka membuat asosiasi bernama PAPTI, Perkumpulan Alumni Perguruan Tinggi Indonesia (Prof. Azemi, 2017, komunikasi pribadi). Prof. Azemi adalah alumni Fisika ITB 1971, Guru Besar Pangan Universitas Sains Malaysia yang sekarang di UniKL, Malaysia.
Memang pada saat itu belum terlalu ramai dengan jurnal, akan tetapi bukti bahwa PT sebagai masyarakat akademik sudah terlihat. Misalnya best-practice penerapan teknologi pertanian terintegrasi dengan pemberdayaan masyarakat, penyuluhan, inklusi finansial, dan koordinasi kelembagaan yang dibangun IPB tahun 1964 itu diadopsi Pemerintah Orde Baru menjadi Bimas Gotong Royong 1968. Model inilah yang akhirnya Indonesia menerapkan teknik pertanian modern, varietas padi baru, perbankan, dan koperasi sehingga Indonesia berhasil menjadi negara swasembada pangan. Tahun 1978 model Bimas diperkuat dengan model KUD/BUUD (Koperasi Unit Desa/Badan Usaha Unit Desa) hasil pemikiran para dosen UGM, sehingga semakin kokoh. Akhirnya pada tahun 1984 Indonesia memperoleh penghargaan FAO sebagai negara yang bisa menyetop impor. Dalam piagam itu tertulis “from rice importer to self sufficiency”.
Kepercayaan terhadap kampus juga dibuktikan dengan penempatan Asean ADC (Agriculture Development Council)-USAID di Indonesia. IPB sebagai tempat penggodokan konsep-konsep ADC banyak membuat buku-buku pertanian skala internasional berlabel ADC. Para tokoh Indonesia yang menjadi pimpinan tetap ADC adalah Prof. Syarifuddin Baharsyah (alm) untuk bidang ekonomi, Prof. Sajogjo (alm) untuk bidang sosiologi pedesaan, Dr. Fred Rumawas untuk bidang budidaya pertanian, dan Prof. Andi Hakim Nasoetion (alm) untuk bidang metodologi riset. Pada dekade 70 itu ADC banyak mengundang dosen USA, mahasiswa asing, dan termasuk mahasiswa Indonesia untuk magang di IPB. Dr. HS Dillon (Alm, pejabat di Deptan 1980-akhir 90, Direktur Indonesia Reform 2000-2004, Pernah Komnas HAM, Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengentasan Kemiskinan 2009-2014) adalah mahasiswa USU yang magang di IPB tahun 1973-1975. Prof. Sajogjo sebagai pembimbingnya merekomendasikan Dillon saat itu untuk mengambil PhD di Cornell tahun 1975. Artinya peran kampus untuk pengkaderan calon pemikir, birokrat, dan manajer handal saat itu sangat terasa.
Saya yakin kisah sukses yang sama juga terjadi dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan lain-lainnya di UI, ITB, UGM, UNAIR, dan kampus-kampus nasional lainnya. Semua itu adalah bukti sejarah bahwa PT Indonesia sudah diakui universitas asing sebagai kampus yang tertata baik. Dalam hal kelembagaan pemerintahan, PT memberikan konsep-konsep Bappemka yang kemudian menjadi Bappeda serta banyak konsep-konsep manajemen lainnya. Artinya, tradisi GUG dan kultur akademik PT Indonesia sudah terbentuk. Selain itu, kampus tidak terlepas dari dunia luar.
Persoalan Saat Ini
Prinsipnya kita harus memperkuat paradigma pendidikan tinggi secara jelas. Jangan dibiarkan compang-camping tidak jelas arahnya. Ketidakberesan konseptual ini berefek langsung ke tataran praksis birokrasi yang tidak menguntungkan perguruan tinggi (negeri dan swasta). Perguruan Tinggi Negeri dianggap sebagai organ di bawah Kementerian (terutama Kemenristekdikti, Kemenkeu, Kementerian PAN dan RB), diperlakukan seperti dinas-dinas pemerintahan. Adapun PTS dikontrol Kemenristekdikti melalui Kopertis. Kepeduliaan negara terhadap pendidikan tinggi adalah kewajiban. Akan tetapi over-regulated bahkan over-controlled akan membuat kreatifitas PT macet. Intervensi berlebih ini bisa jadi karena ketidakjelasan konsep paradigmatik yang berhimpitan dengan ketidakpercayaan (untrust).
Walaupun dalih dari alasan koordinasi atau kontrol itu adalah untuk kemajuan pendidikan dan menjaga mutu untuk kepentingan masyarakat, tetapi basisnya tidak lain adalah ketidakpercayaan (untrust). Akhirnya perlakuan (pengaturan, koordinasi, dan kontrol) ini terus menerus berlaku bagi semua perguruan tinggi. Tidak ada PT yang diberikan otonomi penuh, dibebaskan ‘terbang’ sesuai dengan kemampuannya. Setiap PT membuat program studi, selalu harus mendapat ijin dari Kemenristekdikti, walaupun PT itu sudah mempunyai fasilitas dan SDM yang mumpuni. Keadaan ini bisa menyebabkan kampus jadi medioker, sulit menggapai keberhasilan puncak. Apalagi bisa dirasakan langsung manfaatnya seperti kelahiran bimas, KUD, dan BUUD untuk pangan itu.
Untuk mendapatkan izin prodi pun harus mendapat rekomendasi BAN-PT. Rantai KOPERTIS-KEMENTRIAN-BAN PT plus birokrasi di setiap lembaga itu menyebabkan pembukaan prodi saja perlu waktu yang sangat lama. Padahal pihak PT (terutama PTS) harus terus memelihara (baca: membayar) calon dosen yang sudah diikat. Satu prodi harus mengikat enam calon dosen, berarti harus membayar 6 x N Rupiah selama menunggu kepastian yang lebih dari 12 bulan. Padahal belum ada mahasiswa. Bila keputusannya berupa penolakan, banyak pihak yang dirugikan, yakni PT dan calon dosen yang harus menunggu. Anehnya ada penolakan pihak Kemenristekdikti atau BAN PT padahal sudah mendapat rekomendasi dari Kopertis. Artinya ketidakpercayaan ini juga merasuk diantara instansi pemerintah. Berat kalau sudah begini.
PT tentunya menjadi korban langsung dari akibat ketidakpercayaan dan rantai panjang birokrasi ini. Sulit sekali para pengelola kampus bermanuver untuk kreatif keluar dari cengkraman birokrasi dan regulasi. Akhirnya PT mencari zona aman, daripada korban berbagai regulasi yang mengakibatkan mahasiswa takut mendaftar. Ini cukup mengerikan. Keadaan inilah yang menjadikan kampus-kampus Indonesia medioker, lalu melakukan kegiatan rutin BAU (Business As Usual).
Klasifikasi PT
Untuk menjawab persoalan paradigmatik ini, kita harus mampu menjawab pertanyaan seperti untuk apa sebuah atau beberapa PT didirikan? Apa kaitan PT dengan industri, sumber daya alam, sumber daya manusia, pembangunan regional/nasional, dan globalisasi? Apakah hanya untuk mengejar APK/M (Angka Partisipasi Kasar/Murni) ataukah ada tujuan lain? Bila kita belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, semua yang dilakukan sangat superfisial. Begitu juga bila jawabannya tidak mendasar, sulit ada pembenahan substansial. Apalagi kita saat ini memiliki PTN dan PTS yang jelas-jelas berbeda dari segi sumber pendanaan. Persamaan hanya terjadi pada level kompetisi perolehan hibah kompetitif. Perlakuan model ini justru tidak menguntungkan PTS.
Untuk menjawab persoalan itu sangat diperlukan kesamaan berpikir dari para pelaku manajemen pendidikan tinggi, ilmuwan dan teknolog yang mampu berpikir holistik-integratif-transdisiplin, para pelaku industri. Jangan ada arahan-arahan dari birokrat yang merasa jadi atasan pengelola kampus dan dosen. Mereka harus diberi ruang diskusi setara, tanpa sekat, apalagi pengaruh kekuasaan, untuk merumuskan konsep PT Indonesia baik PTN ataupun PTS.
Saya sendiri berpendapat bahwa keberadaan PT itu harus sangat berkaitan dengan industri, SDA, SDM, pembangunan regional/nasional, dan globalisasi. Tanpa itu semua maka PT akan dikelola secara BAU (Business As Usual). Untuk PTN yang telah ada dapat dikelompokkan berdasarkan kematangan dan regionalisasi.
PTN yang sudah matang dapat diberikan otonomi penuh (akademik, manajemen, dan keuangan) dengan mandat tertentu misalnya untuk penguatan bidang-bidang tertentu sesuai dengan kematangannya.
PTN Mandat Nasional
Mandat nasional diberikan kepada PTN yang sudah matang dan berstatus PTN BH. Adapun ciri-ciri PTN dengan Mandat Nasional adalah
- Berbentuk Universitas Riset berfokus pada pendidikan pascasarjana tanpa ada kewajiban akreditasi nasional
- Memiliki sertifikasi akreditasi internasional
- Mendapatkan block grant (APBN) untuk manajemen PT, personalia, dan sebagian dari dana riset
- Mempunyai grand design riset (minimum untuk 10 tahun yang terus dievaluasi) sesuai dengan mandat yang diberikan, lengkap dengan indikator output dan sumber pendanaannya.
- Berhak mencari dana (non APBN) baik dari Dalam ataupun Luar Negeri untuk kegiatan riset dan kegiatan akademik lainnya
- Menjalankan riset sesuai dengan grand design dan prioritas nasional untuk penguatan industri skala internasional
- Rasio program pascasarjana dan sarjana setidaknya 6:4
- Mempunyai jurnal internasional bekerjasama dengan asosiasi keilmuan DN dan LN
- Mempunyai perusahaan sebagai Unit Income Generator yang menjual produk sesuai dengan mandat
- Perusahaan berhak melakukan transaksi penjualan ekspor produk ke berbagai negara bekerjasama dengam industri swasta atau BUMN
- Mempunyai daerah binaan untuk menerapkan hasil-hasil riset dalam bentuk Collaborative Research Center bekerjasama dengan pemerintah daerah dan PTN/S di daerah tersebut serta Universitas LN.
- Mempunyai setidaknya 10 PTN/S binaan di daerah perbatasan atau mendekati perbatasan.
- Mempunyai program sabbatical on leave di LN (atau DN) bagi dosen setidaknya setiap 5 tahun sekali
- Menerima program sabbatical on leave dari Universitas LN
- Mempunyai mahasiswa asing setidaknya 15 % dari total mahasiswa
- Menyelenggarakan konferensi internasional sesuai dengan mandat bekerjasama dengan Universitas Luar Negeri setidaknya satu kali dalam setahun.
- Mempunyai kantor profesional untuk pengurusan HaKI dan paten
- Mempunyai science park sesuai dengan mandat yang merupakan laboratorium, perkantoran industri kerjasama, ruang konferensi
- Mempunyai kantor kerjasama internasional profesional untuk pengurusan berkas-berkas keperluan keberangkatan ke LN dan penerimaan mahasiswa asing.
- Mempunyai lembaga bahasa lengkap dengan ahli bahasa bahasa saintifik untuk penerjemahan paper-paper ke bahasa Inggris
- Manajemen akademik dilakukan secara full-ICT secara integratif seluruh proses akademik (pendidikan, riset, aplikasi teknologi) dan manajemen kerjasama.
PTN Mandat Regional
PTN Mandat Regional diberikan kepada PTN yang sudah matang dan berstatus BLU. Adapun ciri-ciri PTN dengan Mandat regional adalah
- Akreditasi nasional dan internasional bersifat opsional
- Mendapatkan block grant untuk manajemen PT, personalia, dan riset
- Mempunyai grand design riset (minimum 10 tahun yang terus dievaluasi) sesuai dengan mandat regional
- Berhak mencari dana hibah (Non APBN) baik dari Dalam ataupun Luar Negeri untuk riset dan kegiatan akademik lainnya
- Menjalankan riset sesuai dengan grand design dan prioritas regional untuk penguatan industri skala nasional.
- Model universitas berbasis riset
- Rasio mahasiswa program pascarsarjana dengan sarjana setidaknya 3:7
- Mempunyai mahasiswa asing setidaknya 5% dari total mahasiswa.
- Berhak mempunyai perusahaan sesuai dengan mandat regional untuk Income Generator.
- Perusahaannya berhak melakukan transaksi penjualan produk bekerjasama dengan BUMD, BUMN atau swasta
- Mempunyai jurnal internasional bekerjasama dengan asosiasi keilmuan DN dan LN.
- Mempunyai minimum 5 PTN/S binaan di wilayahnya
- Mempunyai Collaborative Research Center bekerjasama dengan PTN/S binaan dan pemda setempat
- Mempunyai program sabbatical on leave bagi dosen ke PTN Mandat Nasional atau PT LN minimum 5 kali/tahun
- Menerima sabbatical on leave dari PTN Mandat atau PT LN
- Mempunyai kantor profesional untuk pengurusan HaKI dan paten
- Mempunyai kantor kerjasama internasional profesional
- Sama dengan PTN Mandat Nasional no 20
- Sama dengam PTN Mandat Nasional no 21
PTN di Luar Mandat Nasional dan Regional
PTN yang belum masuk ke pola PTN Mandat Nasional dan PTN Mandat Regional diperlakukan seperti pola BLU saat ini. Beberapa tambahannya adalah
- Akreditasi nasional dan internasional bersifat optional.
- Mempunyai grand design riset mengikuti PT Pembina (PT Mandat Nasional atau PT Mandat Regional)
- Berhak mencari dana (non APBN) DN dan LN untuk kegiatan riset dan akademik lainnya.
- Menjalankan riset sesuai grand design dan mengikuti PT Pembina
- Model universitas berbasis riset
- Berhak menjalankan program pascasarjana mengikuti PT Pembina
- Berhak menerima mahasiswa asing melalui kerjasama PT Pembina
- Berhak bekerjasama dengan PTS di wilayahnya
- Wajib mempunyai jurnal setidaknya skala nasional yang terakreditasi
- Dapat menjadi anggota Collaborative Research Center dengan PTN Mandat
- Dapat menerima dosen sabbatical on leave DN atau LN
- Sama dengan PTN Mandat Nasional no 21
PT Swasta
Diperlukan pemetaan PTS saat ini berdasarkan kematangannya. Tetapi pada dasarnya karena PTS tidak mendapatkan alokasi APBN yang signifikan, tidak diperlukan mandat baik nasional ataupun regional. Untuk meningkatkan mutu PT diperlukan perlakuan sebagai berikut
- Akreditasi nasional dan internasional bersifat opsional
- Berhak bekerjasama dengan PTN Mandat Nasional/Regional, PTN non mandat, dan PTS lainnnya
- Berhak mendapatkan hibah riset APBN secara kompetitif
- Berhak menjadi bagian grand design PTN Mandat
- Berhak menjalankan universitas riset atau universitas berbasis riset sesuai dengan kematangannya
- Berhak melakukan merger (penggabungan) dengan PTS lainnya dengan sistem pengelolaan diambil dari PTS yang terbaik (Best PTS system) di seluruh wilayah Indonesia
- Berhak melakukan semua kewajiban PTN Mandat sesuai dengan kematannya
- Koordinasi cukup dilakukan melalui APTISI, tidak diperlukan adanya Kopertis.
- APTISI berhak mendapat APBN selain iuran PTS dan sumber-sumber lainnya yang sah baik dari DN ataupun LN
Kesimpulan
Pendekatan total sistem GUG (Good University Governance) dan otonomi kampus membuat suasana akademik akan kondusif terhadap kreativitas serta produktivitas riset lengkap dengan indikator-indikatornya. Indikator mencakup output dan outcome seperti paper internasional, nasional, aplikasi teknologi, peningkatan IPM daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat, ketertibatan masyarakat, dan kesehatan lingkungan. Adapun indikator input dan proses sepenuhnya diserahkan kepada PT masing-masing yang kondusif terhadap ekosistem akademik.
Dengan demikian tidak ada lagi persoalan beban jurnal dan akreditasi karena model-model di atas memasukkan mutu sebagai budaya bukan tuntutan regulasi. Insan akademis adalah mereka yang faham akan hak dan kewajibannya serta berpandangan meritokrasi, bukan mediokrasi. Sehingga PT akan menjadi pusat peradaban, sains, teknologi, budaya, dan seni. Dari situlah akan lahir orang-orang yang akan menjadi ilmuwan, manajer profesional, ahli hukum, dokter, insinyur dan sain-teknopreneur.
Asep Saefuddin (Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia/Guru Besar IPB)
Baca Juga : Pakar IPB University, Biodiversitas Indonesia Berpotensi Besar Sebagai Sumber Biofarmaka
Discussion about this post